FILSAFAT MATEMATIKA SEKOLAH
Oleh:
AYU ARFIANA
15709251002
Makalah
ini ditulis untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah Filsafat Ilmu
Pengampu:
Prof. Dr. Marsigit, M.A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Dari sebuah pertanyaan
apakah matematika termasuk ilmu atau bukan ilmu, Immanuel Kant menjawab bahwa
matematika bisa menjadi Ilmu tetapi juga bisa tidak menjadi ilmu. Matematika
dikatakan akan menjadi Ilmu jika matematika dibangun di atas intuisi.
Menurutnya, intuisi adalah ruang dan waktu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
matematika akan menjadi ilmu jika dibangun di atas intuisi dalam kerangka ruang
dan waktu. Kant menegaskan bahwa matematika
akan menjadi Ilmu jika dia bersifat
synthetic a priori. Sementara itu, matematika dikatakan bukan ilmu ketika
matematika dibangun dengan Pure Logic.
Karena Pure Logic dipandang sebagai a
priori saja dan bersifat Analitik. Dengan demikian menurut Kant, Pure Logic
belumlah merupakan ilmu. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
matematika itu dapat dikatakan ilmu dan bukan ilmu tergantung pada apa yang
membangun matematika di dalamnya.
Selama
ini matematika yang berkembang di Perguruan Tinggi atau lebih popular dengan
sebutan Matematika Murni antara lain logicism,
mathematics-formalisme, dan mathematics-structuralisme. Ketiga aspek
tersebut kemudian disebut oleh Prof Marsigit sebagai tiga pilar the
philosophy and the foundation of Pure Mathematics yang merupakan separuh
dari dunia matematika. Namun dewasa ini, matematika mempunyai kecenderungan pada
filsafat bahasa. Sehingga filsafat bahasa tersebut kemudian berfungsi sebagai
penguat dalam pengembangan dan implementasi ketiga pilar tersebut. Dalam
pembelajaran matematika di Perguruan Tinggi kita akan mengenal
Struktur-struktur Aljabar, Struktur Geometri, dan lain sebagainya, hal tersebut
dikarenakan implementasi pembelajaran matematika di Perguruan Tinggi menampakan
dirinya sebagai Pure-Formal-Axiomatics Mathematics.
Sedangkan implementasi
pembelajaran matematika di sekolah, tiga pilar yang telah disebutkan menampakan
diri sebagai Architectonic Mathematics. Architectonic Mathematics
tersebut muncul pada pikiran diri siswa melalui interaksi mereka dengan dunia
konkret. Sehingga dikatakan bahwa aplikasi matematika dalam dunia sekolah adalah
terhadap kehidupan sehari-hari siswa. Hal
tersebut diharapkan dapat membantu siswa agar mudah memahami matematika. Inilah
salah satu tugas kita sebagai pendidik maupun calon pendidik untuk membudayakan
matematika sekolah. Upaya membudayakan matematika merupakan tanggungjawab bersama,
bukan hanya guru saja, namun faktor lain yang mendukung seperti orang tua,
lingkungan sekolah, masyarakat. Pembudayaan matematika sekolah tersebut ditujukan
untuk memproduksi mathematical intuition
pada diri siswa.
Dalam
dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran matematika yang menjadi
permasalahan besar adalah bagaimana menampakkan Architectonic Mathematics dalam pembelajaran matematika sekolah terhadap
anak-anak. Jika kita memandang dari sudut pedagogis dan psikologis, tentunya
kemampuan dan karakter belajar matematika antara orang dewasa dan anak-anak
sangat jauh berbeda. Sehingga menampakkan Architectonic Mathematics dalam pembelajaran matematika sekolah
dianggap sukar dikarenakan guru harus berusaha melewati proses transforming
phenomena antara belajar matematika bagi orang dewasa dan belajar
matematika bagi anak-anak. Berdasarkan uraian dan persoalan tersebut,
pembelajaran matematika pada anak-anak di Sekolah kiranya menjadi perhatian
kita bersama. Selain itu mempelajari filsafat matematika sekolah juga
sangat penting dilakukan oleh para pendidik maupun calon pendidik agar tidak terjadi salah kaprah dalam
memposisikan matematika sekolah yang diajarkan kepada anak-anak. Berpijak dari
apa yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk memaparkan hal-hal
terkait Matematika Sekolah berdasarkan dari pengalaman dan hasil pembelajaran
dari perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Dr. Marsigit, MA.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Matematika
Sekolah
Apabila
kita menelisik pengertian hakekat matematika menurut Prof Marsigit, maka dapat
dikatakan bahwa hakekat matematika adalah mempertemukan pengetahuan subjektif
dan objektif matematika melalui interaksi sosial yang bertujuan untuk menguji
dan merepresentasikan pengetahuan baru yang telah diperoleh oleh siswa. Dalam
upaya mempelajari pengetahuan objektif matematika, siswa perlu mengembangkan
berbagai prosedur, misalnya merencanakan langkah-langkah yang akan dilakukan
dalam penyelesaian masalah, mengembangkan langkah yang sudah ada, dan
sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh konsep
matematika kemudian berusaha membangun dan mengembangkan pengetahuan tersebut
dalam dirinya.
Kita
ketahui bersama bahwa matematika merupakan ilmu yang bersifat absolut dan
abstrak. Matematika di Perguruan Tinggi pada umumnya adalah pure mathematics yang merupakan hasil
dari para logicist-formalist-foundationalist.
Pure mathematics ini tentu tidak
sesuai diterapkan pada matematika. Sehingga jika pure mathematics dipaksakan untuk diperkenalkan dan dikembangkan di
sekolah, yang notabene para pembelajar dalam sekolah masih usia anak-anak akan menjadikan
matematika tidak disenangi oleh anak-anak. Dengan demikian menjadi tugas besar
seorang guru dalam memberikan pembelajaran matematika karena kemampuan berpikir
siswa belum dapat memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak. Dalam mempelajari
matematika, siswa akan lebih mudah memahami dan merasa senang jika matematika
dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat konkret, hal tersebut untuk mengimbangi kemampuan
psikologis siswa yang membutuhkan dunia konkret dalam proses pembelajaran
matematika. Sehingga siswa tidak akan kesulitan dan memperoleh pembelajaran
yang bermanfaat ketika matematika yang disajikan di sekolah mengaitkan dengan
pengalaman atau kegiatan mereka sehari-hari. Misalnya guru akan menerangkan tentang
materi pecahan. Sedangkan konsep tentang pecahan sendiri ada di dalam pikiran,
maka untuk menerangkan pada anak-anak, seorang guru perlu menggunakan
benda-benda di luar pikiran yang bersifat konkret agar siswa mudah untuk
memahami dan tidak merasa rumit dalam memahami materi pecahan tersebut. Itulah
hakekat matematika sekolah, sehingga matematika sekolah definisikan sebagai bukan
ilmu, tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai kegiatan investigasi yang
dikemas dalam pembelajaran yang menyenangkan.
Pada
umumnya perkembangan pendidikan matematika ditandai dengan adanya pergeseran
titik pusat pembelajaran dari guru ke siswa. Dewasa ini, pembelajaran dengan
berpusat pada siswa lebih memberikan dampak positif terhadap perkembangan
siswa. Dengan pembelajaran semacam itu siswa dapat membangun pengetahuannya
sendiri, sehingga siswa dapat mudah memahami pelajaran. Pembelajaran yang
berpusat pada guru kini sudah tak sesuai jika diterapkan di jaman sekarang ini,
dimana terjadi transfer of knowledge dari
guru ke siswa telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai dengan
hakekat pembelajaran. Sehingga kini mulai digalakkan pembelajaran yang berpusat
pada siswa, sehingga guru tidak lagi berfungsi sebagai pemberi ilmu, namun
lebih cenderung berperan sebagai fasilitator yang membantu untuk membimbing
siswa dalam proses pembelajaran. Guru juga berperan dalam upaya pengembangan
intuisi siswa terhadap konsep matematika. Sehingga siswa akan berusaha mencari
dan membangun sendiri pengetahuannya, bukan hanya diam mendengarkan guru
berceramah di depan kelas.
Kerapkali
saya mendengar dalam perkuliahan, Prof Marsigit menyampaikan bahwa dalam
pembelajaran matematika sekolah, mathematical
experience dibangun di atas keterampilan matematika yang didukung oleh
pemahaman matematika. Namun terdapat faktor lain yang mendukung yaitu sikap dan
metode matematika, serta motivasi belajar siswa untuk mempelajari matematika. Tetapi
kenyataan yang ditemui di lapangan, Ujian Nasional (UN) yang dijadikan sebagai
alat evaluasi pendidikan di Indonesia justru memberikan dampak kurang baik.
Guru yang mengajar kelas tinggi pada masing-masing jenjang pendidikan (kelas 6,
9, dan 12) menggunakan metode mangajar dengan lebih berorientasi pada
penyelesaian soal-soal persiapan UN, dimana guru mengolah mathematical experiences dengan menempuh jalan drill soal, siswa diajarkan langkah cepat dalam menyelesaikan
soal-soal tersebut. Kecenderungan guru tersebut dianggap telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan kepada siswa secara tidak utuh, hal ini berakibat fatal kepada
siswa yaitu siswa juga akan mendapatkan pengetahuan yang tidak utuh pula. Sementara
itu, pengetahuan yang tidak utuh tersebut bersifat hanya sementara, tidak dapat
membekas dalam ingatan siswa, serta tidak akan mampu membangun struktur
pengetahuan dalam diri siswa. Hal lain yang membahayakan dari kondisi semacam
itu adalah akan menyebabkan siswa menjadi miskin mathematical intuition. Padahal mathematical
intuition ini sangat penting dalam upaya mengembangkan kreativitas siswa untuk
menghasilkan ide-ide/gagasan matematika. Dengan demikian, kita sebagai guru
atau calon guru perlu mempelajari filsafat matematika sekolah agar tidak terjadi fenomena seperti yang
telah dipaparkan tersebut, sehingga tidak akan terjadi kesalahan yang serupa
atau lebih berbahaya lagi dalam pembelajaran matematika sekolah.
B.
Pembudayaan
Matematika Sekolah
Pembudayaan
matematika sekolah tidak hanya kewajiban guru, namun juga kewajiban dari
berbagai pihak, seperti orang tua, lingkungan sekolah, dan lain sebagainya.
Pembudayaan matematika di sekolah diharapkan dapat berimbas manfaat, khususnya
bagi siswa, dimana pembudayaan matematika berperan dalam menghargai adanya
perbedaan siswa yang satu dengan yang lain, baik dalam hal kecerdasan,
kemampuan, bakat, minat maupun pengalaman yang dimiliki oleh siswa.
Fungsi
guru sebagai fasilitator bagi siswa merupakan implikasi dari proses pembudayaan
matematika sekolah. Fasilitator di sini dapat dimaksudkan guru mampu menciptakan
kondisi kelas yang kondusif, guru menyediakan fasilitas pembelajaran bagi
siswa. Sehingga dapat dikatakan peran guru lebih sesuai jika disebut sebagai
manajer dalam proses pembelajaran, dan hal tersebut telah meninggalkan paradigma
lama dimana peran guru hanya sebagai pengajar yang bertugas menyalurkan ilmu
kepada siswa dengan menempuh cara tradisional yang dirasa begitu membosankan
bagi sebagian besar siswa dalam mempelajari matematika.
Upaya
membelajarkan matematika kepada siswa bukanlah hal yang mudah bagi sebagian
guru. Hal tersebut dikarenakan guru harus menguasai beberapa hal yang menunjang
keberhasilan proses pembelajaran matematika, antara lain guru harus mampu
menguasai materi yang menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran matematika, guru
juga harus sudah menguasi konsep matematika sekolah, guru perlu mengetahui dan
menguasai strategi atau metode pembelajaran yang sesuai diterapkan untuk siswa
serta sesuai dengan pokok bahasan. Selain itu, guru juga perlu menciptakan
pembelajaran yang inovatif, dimana dapat memanfaatkan media pembelajaran,
sumber belajar atau membuat alat peraga, sehingga memancing daya kreatifitas
siswa dan membantu siswa dalam memahami pelajaran matematika.
Dalam
upaya melakukan inovasi pendidikan, terkadang banyak kendala yang harus kita
lewati. Terkadang cita-cita sederhana dan mulia, ingin menjadi guru yang professional,
inovatif, dan ikhlas dalam mendidik siswa sungguh tak mudah untuk mewujudkannya.
Maka sebagai calon guru jangan mudah menyerah untuk terus belajar memperbaiki
metode-metode pembelajaran demi tercapainya pembelajaran yang lebih baik. Dari elegi-elegi yang dituliskan oleh Prof Marsigit, dijelaskan
bahwa cara melakukan inovasi pembelajaran, antara lain mengenali faktor
pendukung dalam pembelajaran, mengenali segala informasi yang berkenaan dengan
inovasi pembelajaran, berkomunikasi dengan referensi dan nara sumber, mencari
orang-orang yang mempunyai visi, persepsi, kepentingan dan tujuan yang sama.
Selain itu, mempelajari model-model inovasi pembelajaran yang telah ada,
menetapkan skala prioritas, mempelajari teori-teori dan paradigma pendidikan
kemudian menyesuaikan dengan paradigma mengajar kita. Kita juga perlu mengenali
hakekat keilmuan, siswa, penilaian, alat peraga, konteks pembelajaran, dst.
Apabila
kita telah berperan sebagai guru inovatif, maka hendaklah kita dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan mendekati guru tradisional agar bersedia menciptakan
inovasi baru demi kemajuan pendidikan dengan mengadakan pelatihan yang tidak
bersifat menggurui guru. Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan
profesionalisme sebagai guru, kualitas pembelajaran, mengembangkan berbagai
alat peraga untuk pembelajaran. Namun apabila terlanjur telah menjadi guru
tradisional, maka hendaknya tidak berlaku sombong dan keukeuh mempertahankan
tradisi yang sudah bertahun-tahun mendarah daging dalam proses pembelajaran. Hal
tersebut dikarenakan dalam pembelajaran matematika sekolah, siswa memerlukan
inovasi dari guru untuk membantu siswa dalam memahami matematika dan melejitkan
prestasi siswa agar mampu mengimbangi teknologi yang semakin maju. Sementara
itu, bagi calon guru maka berusaha lah
mempelajari dan melakukan inovasi pembelajaran. Tetap belajar tanpa kenal lelah
dan pantang menyerah mewujudkan niat mulia menjadi guru profesioanl, inovatif,
dan ikhlas mendidik siswa.
BAB
III
KESIMPULAN
Berdasarkan dari pemaparan pada pendahuluan dan
pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Sebagai guru atau calon guru harus memahami
filsafat matematika sekolah agar tidak terjadi kesalahan yang berbahaya bagi perkembangan
kecerdasan dan psikologi anak-anak dalam mempelajari matematika.
2) Dunia
siswa atau anak-anak adalah dunia di luar pikiran, dunia yang nyata, dunia yang
konkret, dan dunia pengalaman. Hal tersebut lah yang membedakan matematika bagi
anak-anak dengan matematika orang dewasa.
3) Hakekat
ilmu bagi anak-anak adalah kegiatan, maka dalam pembelajaran di sekolah, matematika
dihubungkan dengan permasalahan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
demikian memperjuangkan matematika sekolah merupakan upaya memperjuangkan hak
siswa terkait dengan kemampuan psikologis siswa yang membutuhkan dunia konkret
dalam proses pembelajaran matematika.
4) Guru
harus memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan diri, pengetahuan, dan
pengalamannya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, seperti yang
sering dilantunkan oleh Prof Marsigit bahwa kita sebagai guru dalam menghadapi siswa yang tak sama, hendaknya mempelajari matematika
yang tak sama, memerlukan waktu yang tak sama, dengan metode dan alat yang tak
sama pula, serta hasil yang boleh tak sama, yaitu boleh tak sama dengan apa yang
kita pikirkan.
5) Bagi
guru atau calon guru harus selalu berusaha dalam
upaya memproduksi inovasi pembelajaran, serta pantang menyerah untuk mewujudkan
niat mulia menjadi guru profesional, inovatif, dan ikhlas mendidik siswa.
0 komentar:
Posting Komentar