Laman

Senin, 18 Januari 2016

Filsafat Matematika Sekolah



FILSAFAT MATEMATIKA SEKOLAH

 







Oleh:
AYU ARFIANA
15709251002

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah Filsafat Ilmu
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2016







BAB I
PENDAHULUAN

Dari sebuah pertanyaan apakah matematika termasuk ilmu atau bukan ilmu, Immanuel Kant menjawab bahwa matematika bisa menjadi Ilmu tetapi juga bisa tidak menjadi ilmu. Matematika dikatakan akan menjadi Ilmu jika matematika dibangun di atas intuisi. Menurutnya, intuisi adalah ruang dan waktu. Sehingga dapat dikatakan bahwa matematika akan menjadi ilmu jika dibangun di atas intuisi dalam kerangka ruang dan waktu. Kant menegaskan bahwa matematika akan menjadi Ilmu jika dia bersifat synthetic a priori. Sementara itu, matematika dikatakan bukan ilmu ketika matematika dibangun dengan Pure Logic. Karena Pure Logic dipandang sebagai a priori saja dan bersifat Analitik. Dengan demikian menurut Kant, Pure Logic belumlah merupakan ilmu. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika itu dapat dikatakan ilmu dan bukan ilmu tergantung pada apa yang membangun matematika di dalamnya.
Selama ini matematika yang berkembang di Perguruan Tinggi atau lebih popular dengan sebutan Matematika Murni antara lain logicism, mathematics-formalisme, dan  mathematics-structuralisme. Ketiga aspek tersebut kemudian disebut oleh Prof Marsigit sebagai tiga pilar  the philosophy and the foundation of Pure Mathematics yang merupakan separuh dari dunia matematika. Namun dewasa ini, matematika mempunyai kecenderungan pada filsafat bahasa. Sehingga filsafat bahasa tersebut kemudian berfungsi sebagai penguat dalam pengembangan dan implementasi ketiga pilar tersebut. Dalam pembelajaran matematika di Perguruan Tinggi kita akan mengenal Struktur-struktur Aljabar, Struktur Geometri, dan lain sebagainya, hal tersebut dikarenakan implementasi pembelajaran matematika di Perguruan Tinggi menampakan dirinya sebagai Pure-Formal-Axiomatics Mathematics.
Sedangkan implementasi pembelajaran matematika di sekolah, tiga pilar yang telah disebutkan menampakan diri sebagai Architectonic Mathematics. Architectonic Mathematics tersebut muncul pada pikiran diri siswa melalui interaksi mereka dengan dunia konkret. Sehingga dikatakan bahwa aplikasi matematika dalam dunia sekolah adalah terhadap  kehidupan sehari-hari siswa. Hal tersebut diharapkan dapat membantu siswa agar mudah memahami matematika. Inilah salah satu tugas kita sebagai pendidik maupun calon pendidik untuk membudayakan matematika sekolah. Upaya membudayakan matematika merupakan tanggungjawab bersama, bukan hanya guru saja, namun faktor lain yang mendukung seperti orang tua, lingkungan sekolah, masyarakat. Pembudayaan matematika sekolah tersebut ditujukan untuk memproduksi mathematical intuition pada diri siswa.
Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran matematika yang menjadi permasalahan besar adalah bagaimana menampakkan Architectonic Mathematics dalam pembelajaran matematika sekolah terhadap anak-anak. Jika kita memandang dari sudut pedagogis dan psikologis, tentunya kemampuan dan karakter belajar matematika antara orang dewasa dan anak-anak sangat jauh berbeda. Sehingga menampakkan Architectonic Mathematics  dalam pembelajaran matematika sekolah dianggap sukar dikarenakan guru harus berusaha melewati proses transforming phenomena antara belajar matematika bagi orang dewasa dan belajar matematika bagi anak-anak. Berdasarkan uraian dan persoalan tersebut, pembelajaran matematika pada anak-anak di Sekolah kiranya menjadi perhatian kita bersama. Selain itu mempelajari filsafat matematika sekolah juga sangat penting dilakukan oleh para pendidik maupun calon pendidik agar tidak terjadi salah kaprah dalam memposisikan matematika sekolah yang diajarkan kepada anak-anak. Berpijak dari apa yang telah diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk memaparkan hal-hal terkait Matematika Sekolah berdasarkan dari pengalaman dan hasil pembelajaran dari perkuliahan Filsafat Ilmu yang diampu Prof. Dr. Marsigit, MA.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Matematika Sekolah
Apabila kita menelisik pengertian hakekat matematika menurut Prof Marsigit, maka dapat dikatakan bahwa hakekat matematika adalah mempertemukan pengetahuan subjektif dan objektif matematika melalui interaksi sosial yang bertujuan untuk menguji dan merepresentasikan pengetahuan baru yang telah diperoleh oleh siswa. Dalam upaya mempelajari pengetahuan objektif matematika, siswa perlu mengembangkan berbagai prosedur, misalnya merencanakan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam penyelesaian masalah, mengembangkan langkah yang sudah ada, dan sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa dapat memperoleh konsep matematika kemudian berusaha membangun dan mengembangkan pengetahuan tersebut dalam dirinya.
Kita ketahui bersama bahwa matematika merupakan ilmu yang bersifat absolut dan abstrak. Matematika di Perguruan Tinggi pada umumnya adalah pure mathematics yang merupakan hasil dari para logicist-formalist-foundationalist. Pure mathematics ini tentu tidak sesuai diterapkan pada matematika. Sehingga jika pure mathematics dipaksakan untuk diperkenalkan dan dikembangkan di sekolah, yang notabene para pembelajar dalam sekolah masih usia anak-anak akan menjadikan matematika tidak disenangi oleh anak-anak. Dengan demikian menjadi tugas besar seorang guru dalam memberikan pembelajaran matematika karena kemampuan berpikir siswa belum dapat memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak. Dalam mempelajari matematika, siswa akan lebih mudah memahami dan merasa senang jika matematika dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat konkret, hal tersebut untuk mengimbangi kemampuan psikologis siswa yang membutuhkan dunia konkret dalam proses pembelajaran matematika. Sehingga siswa tidak akan kesulitan dan memperoleh pembelajaran yang bermanfaat ketika matematika yang disajikan di sekolah mengaitkan dengan pengalaman atau kegiatan mereka sehari-hari. Misalnya guru akan menerangkan tentang materi pecahan. Sedangkan konsep tentang pecahan sendiri ada di dalam pikiran, maka untuk menerangkan pada anak-anak, seorang guru perlu menggunakan benda-benda di luar pikiran yang bersifat konkret agar siswa mudah untuk memahami dan tidak merasa rumit dalam memahami materi pecahan tersebut. Itulah hakekat matematika sekolah, sehingga matematika sekolah definisikan sebagai bukan ilmu, tetapi lebih tepat jika dimaknai sebagai kegiatan investigasi yang dikemas dalam pembelajaran yang menyenangkan.
Pada umumnya perkembangan pendidikan matematika ditandai dengan adanya pergeseran titik pusat pembelajaran dari guru ke siswa. Dewasa ini, pembelajaran dengan berpusat pada siswa lebih memberikan dampak positif terhadap perkembangan siswa. Dengan pembelajaran semacam itu siswa dapat membangun pengetahuannya sendiri, sehingga siswa dapat mudah memahami pelajaran. Pembelajaran yang berpusat pada guru kini sudah tak sesuai jika diterapkan di jaman sekarang ini, dimana terjadi transfer of knowledge dari guru ke siswa telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai dengan hakekat pembelajaran. Sehingga kini mulai digalakkan pembelajaran yang berpusat pada siswa, sehingga guru tidak lagi berfungsi sebagai pemberi ilmu, namun lebih cenderung berperan sebagai fasilitator yang membantu untuk membimbing siswa dalam proses pembelajaran. Guru juga berperan dalam upaya pengembangan intuisi siswa terhadap konsep matematika. Sehingga siswa akan berusaha mencari dan membangun sendiri pengetahuannya, bukan hanya diam mendengarkan guru berceramah di depan kelas.
Kerapkali saya mendengar dalam perkuliahan, Prof Marsigit menyampaikan bahwa dalam pembelajaran matematika sekolah, mathematical experience dibangun di atas keterampilan matematika yang didukung oleh pemahaman matematika. Namun terdapat faktor lain yang mendukung yaitu sikap dan metode matematika, serta motivasi belajar siswa untuk mempelajari matematika. Tetapi kenyataan yang ditemui di lapangan, Ujian Nasional (UN) yang dijadikan sebagai alat evaluasi pendidikan di Indonesia justru memberikan dampak kurang baik. Guru yang mengajar kelas tinggi pada masing-masing jenjang pendidikan (kelas 6, 9, dan 12) menggunakan metode mangajar dengan lebih berorientasi pada penyelesaian soal-soal persiapan UN, dimana guru mengolah mathematical experiences dengan menempuh jalan drill soal, siswa diajarkan langkah cepat dalam menyelesaikan soal-soal tersebut. Kecenderungan guru tersebut dianggap telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada siswa secara tidak utuh, hal ini berakibat fatal kepada siswa yaitu siswa juga akan mendapatkan pengetahuan yang tidak utuh pula. Sementara itu, pengetahuan yang tidak utuh tersebut bersifat hanya sementara, tidak dapat membekas dalam ingatan siswa, serta tidak akan mampu membangun struktur pengetahuan dalam diri siswa. Hal lain yang membahayakan dari kondisi semacam itu adalah akan menyebabkan siswa menjadi miskin mathematical intuition. Padahal mathematical intuition ini sangat penting dalam upaya mengembangkan kreativitas siswa untuk menghasilkan ide-ide/gagasan matematika. Dengan demikian, kita sebagai guru atau calon guru perlu mempelajari filsafat matematika sekolah agar tidak terjadi fenomena seperti yang telah dipaparkan tersebut, sehingga tidak akan terjadi kesalahan yang serupa atau lebih berbahaya lagi dalam pembelajaran matematika sekolah.

B.     Pembudayaan Matematika Sekolah
Pembudayaan matematika sekolah tidak hanya kewajiban guru, namun juga kewajiban dari berbagai pihak, seperti orang tua, lingkungan sekolah, dan lain sebagainya. Pembudayaan matematika di sekolah diharapkan dapat berimbas manfaat, khususnya bagi siswa, dimana pembudayaan matematika berperan dalam menghargai adanya perbedaan siswa yang satu dengan yang lain, baik dalam hal kecerdasan, kemampuan, bakat, minat maupun pengalaman yang dimiliki oleh siswa.
Fungsi guru sebagai fasilitator bagi siswa merupakan implikasi dari proses pembudayaan matematika sekolah. Fasilitator di sini dapat dimaksudkan guru mampu menciptakan kondisi kelas yang kondusif, guru menyediakan fasilitas pembelajaran bagi siswa. Sehingga dapat dikatakan peran guru lebih sesuai jika disebut sebagai manajer dalam proses pembelajaran, dan hal tersebut telah meninggalkan paradigma lama dimana peran guru hanya sebagai pengajar yang bertugas menyalurkan ilmu kepada siswa dengan menempuh cara tradisional yang dirasa begitu membosankan bagi sebagian besar siswa dalam mempelajari matematika.
Upaya membelajarkan matematika kepada siswa bukanlah hal yang mudah bagi sebagian guru. Hal tersebut dikarenakan guru harus menguasai beberapa hal yang menunjang keberhasilan proses pembelajaran matematika, antara lain guru harus mampu menguasai materi yang menjadi pokok bahasan dalam pembelajaran matematika, guru juga harus sudah menguasi konsep matematika sekolah, guru perlu mengetahui dan menguasai strategi atau metode pembelajaran yang sesuai diterapkan untuk siswa serta sesuai dengan pokok bahasan. Selain itu, guru juga perlu menciptakan pembelajaran yang inovatif, dimana dapat memanfaatkan media pembelajaran, sumber belajar atau membuat alat peraga, sehingga memancing daya kreatifitas siswa dan membantu siswa dalam memahami pelajaran matematika.
Dalam upaya melakukan inovasi pendidikan, terkadang banyak kendala yang harus kita lewati. Terkadang cita-cita sederhana dan mulia, ingin menjadi guru yang professional, inovatif, dan ikhlas dalam mendidik siswa sungguh tak mudah untuk mewujudkannya. Maka sebagai calon guru jangan mudah menyerah untuk terus belajar memperbaiki metode-metode pembelajaran demi tercapainya pembelajaran yang lebih baik. Dari elegi-elegi yang dituliskan oleh Prof Marsigit, dijelaskan bahwa cara melakukan inovasi pembelajaran, antara lain mengenali faktor pendukung dalam pembelajaran, mengenali segala informasi yang berkenaan dengan inovasi pembelajaran, berkomunikasi dengan referensi dan nara sumber, mencari orang-orang yang mempunyai visi, persepsi, kepentingan dan tujuan yang sama. Selain itu, mempelajari model-model inovasi pembelajaran yang telah ada, menetapkan skala prioritas, mempelajari teori-teori dan paradigma pendidikan kemudian menyesuaikan dengan paradigma mengajar kita. Kita juga perlu mengenali hakekat keilmuan, siswa, penilaian, alat peraga, konteks pembelajaran, dst.
Apabila kita telah berperan sebagai guru inovatif, maka hendaklah kita dengan penuh kesabaran dan keikhlasan mendekati guru tradisional agar bersedia menciptakan inovasi baru demi kemajuan pendidikan dengan mengadakan pelatihan yang tidak bersifat menggurui guru. Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan profesionalisme sebagai guru, kualitas pembelajaran, mengembangkan berbagai alat peraga untuk pembelajaran. Namun apabila terlanjur telah menjadi guru tradisional, maka hendaknya tidak berlaku sombong dan keukeuh mempertahankan tradisi yang sudah bertahun-tahun mendarah daging dalam proses pembelajaran. Hal tersebut dikarenakan dalam pembelajaran matematika sekolah, siswa memerlukan inovasi dari guru untuk membantu siswa dalam memahami matematika dan melejitkan prestasi siswa agar mampu mengimbangi teknologi yang semakin maju. Sementara itu, bagi calon guru maka berusaha lah mempelajari dan melakukan inovasi pembelajaran. Tetap belajar tanpa kenal lelah dan pantang menyerah mewujudkan niat mulia menjadi guru profesioanl, inovatif, dan ikhlas mendidik siswa.





BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan dari pemaparan pada pendahuluan dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Sebagai guru atau calon guru harus memahami filsafat matematika sekolah agar tidak terjadi kesalahan yang berbahaya bagi perkembangan kecerdasan dan psikologi anak-anak dalam mempelajari matematika.
2)      Dunia siswa atau anak-anak adalah dunia di luar pikiran, dunia yang nyata, dunia yang konkret, dan dunia pengalaman. Hal tersebut lah yang membedakan matematika bagi anak-anak dengan matematika orang dewasa.
3)      Hakekat ilmu bagi anak-anak adalah kegiatan, maka dalam pembelajaran di sekolah, matematika dihubungkan dengan permasalahan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian memperjuangkan matematika sekolah merupakan upaya memperjuangkan hak siswa terkait dengan kemampuan psikologis siswa yang membutuhkan dunia konkret dalam proses pembelajaran matematika.
4)      Guru harus memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan diri, pengetahuan, dan pengalamannya sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya, seperti yang sering dilantunkan oleh Prof Marsigit bahwa kita sebagai guru dalam menghadapi siswa yang  tak sama, hendaknya mempelajari matematika yang tak sama, memerlukan waktu yang tak sama, dengan metode dan alat yang tak sama pula, serta hasil yang boleh tak sama, yaitu boleh tak sama dengan apa yang kita pikirkan.
5)      Bagi guru atau calon guru harus selalu berusaha dalam upaya memproduksi inovasi pembelajaran, serta pantang menyerah untuk mewujudkan niat mulia menjadi guru profesional, inovatif, dan ikhlas mendidik siswa.


0 komentar:

Posting Komentar