Laman

Jumat, 19 Februari 2016

Sistem Numerasi Matematika dari Waktu ke Waktu


Tulisan ini saya telaah dari berbagai sumber dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Matematika Model di kelas A Pendidikan Matematika 2015 PPs UNY, yang diampu oleh Prof. Dr. Marsigit, MA. Adapun materi yang saya angkat terkait dengan perkembangan sistem numerasi matematika dari waktu ke waktu, sejak dahulu hingga sekarang.

1.      Sistem Numerasi Matematika Mayan
Sejarah mengatakan bahwa orang-orang Indian Mayan dari Guatemala dan Honduras mempunyai peradaban yang tinggi. Hal ini dibuktikan dalam perhitungan matematika dan ilmu astronomi membuat mereka mampu menciptakan kalender yang hampir sempurna sejak ribuan abad yang lalu. Ahli arkeologi mengatakan bahwa kalender Maya mulai menghitung waktu dari tahun 3114 SM yang dianggap sebagai tahun nol dan disamakan ke dalam tanggal 1 Januari.
Bangsa Maya mengubah lambang gambar dengan “titik” dan “garis mendatar”. Titik melambangkan satu dan garis mendatar melambangkan lima. Sementara itu angka nol disimbol dengan kerang-kerangan untuk dan itu sudah cukup untuk menyatakan angka apa saja. Teori ini dianggap berguna sampai saat ini yaitu pada “sistem biner” yang digunakan dalam kalkulator. Sistem numerasi Maya mempunyai basis 20 (vigesimal) dengan menggunakan sistem nilai tempat dan ditulis secara tegak. Bangsa Maya menggunakan basis 20 karena menganggap dapat mewakili jumlah jari pada tangan dan kaki manusia.  Hal yang menarik dalam sistem numerasi Mayan yaitu kelompok bilangan yang kedua adalah 18(20) = 360, bukan (20)2 = 400. Kelompok yang lebih tinggi mempunyai bentuk 18(20)n. Perbedaan ini dipengaruhi fakta bahwa tahun resmi Mayan berjumlah 360 hari.
Sistem numerasi Mayan dijelaskan dalam gambar berikut ini:


2.      Sistem Numerasi Matematika Mesir Kuno
Sekitar 2850 SM, bangsa Mesir kuno menggunakan sistem angka. Lambang-lambang sistem numerasi Mesir kuno disebut dengan hieroglyphcs. Dalam tulisan Hieroglyph ini sistem numerasinya berdasarkan pada basis 10 (system decimal) dengan tujuh lambang dasar yaitu lambang untuk bilangan satu, sepuluh, seratus, sepuluh ribu, seratus ribu, dan satu juta. Angka 1 dilambangkan dengan bentuk tongkat atau batang lurus, sementara itu angka 2 dilambangkan dengan dua buah tongkat atau batang lurus, begitu seterusnya hingga 9 dilambangkan dengan bentuk tongkat sebanyak 9 buah. Tetapi, angka 10 dilambangkan dengan tulang tumit. Angka 100 dilambangkan dengan spiral. Angka 200 dilambangkan dengan spiral sebanyak dua buah, begitu seterusnya hingga 900 dilambangkan spiral sebanyak sebanyak 9 buah. Angka 1000 menggunakan lambang  bunga teratai, sedangkan angka 10000 dinyatakan dengan jari telunjuk. Sementara itu, 100000 dinyatakan dengan lambang burung. Angka 1000000 dilambangkan dengan orang keheranan, sedangkan 10000000 dilambangkan dengan matahari terbit.


3.      Sistem Numerasi Matematika Babilonia
Jaman dahulu, bangsa Babilonia menulis angka dengan sepotong kayu pada clay tablets, yaitu tablet yang terbuat dari tanah liat. Tulisan bangsa Babilonia sering disebut tulisan paku karena mempunyai bentuk seperti paku. Bangsa Babilonia menuliskan huruf  paku menggunakan tanaman reed, tulisan tersebut berbentuk segitiga yang memanjang (prisma segitiga), cara menulis di clay tablets dengan cara manekankannya pada lempengan tanah yang masih basah sehingga akan menghasilkan cekungan segitiga meruncing yang menyerupai bentuk paku.
Sistem numerasi bangsa Babilonia (sekitar 2400 SM) disebut juga sistem sexagesimal. Hal ini dikarenakan sistem numerasi menggunakan basis 60. Sistem sexagesimal masih digunakan sampai saat ini, yaitu dalam menyatakan waktu, menit dan detik. Selain itu di dalam trigonometri untuk menyatakan derajat. Dengan demikian, sistem numerasi tersebut merupakan warisan budaya Babilonia.
Sistem numerasi Babilonia ini mengutamakan posisi serta menggunakan sifat pengulangan satuan dan puluhan. Selain itu, sistem numerasi Babilonia tidak memiliki angka nol, spasi digunakan untuk menandakan bahwa tidak ada angka dalam nilai tempat tertentu.
Adapun penulisan angka pada sistem numerasi Babilonia sebagai berikut:
1 = ▼                                                  10 = ◄
2 = ▼▼                                              20 = ◄◄
9 = ▼▼▼▼▼▼▼▼▼
Penulisan angka yang lebih kecil dari 60 dituliskan dengan mengkombinasikan dua lambang tersebut. Misal: 12 = ◄▼▼


4.      Sistem Numerasi Matematika Yunani Kuno
Lambang dalam sistem numerasi Yunani Kuno masih sangat sederhana, dapat diperkirakan setaraf dengan sistem numerasi Mesir Kuno (hieroglyph). Sistem numerasi matematika Yunani Kuno terbagi dua, yaitu:
a.       Sistem Attic
Sistem attic diperkirakan telah digunakan sebelum abad ke 8 SM. Dalam Attic membentuk sebuah sistem kelompok sederhana berbasis sepuluh yang dibentuk dari huruf pertama nama bilangan (angka acrophonic atau disebut juga angka Herodianic). Penulisan angka attic dilambangkan sederhana, dimana angka 1 sampai 4 dilambangkan dengan lambang tongkat, sebagai berikut:
1 =  │    (un)                  3 = │││   (Tri)
2 = ││   (Di)                  4 = ││││ (Tetra)
                        Sementara itu, angka 5 dilambangkan dengan “Γ” ,yaitu huruf awal dari Penta (lima). Sedangkan angka 6 sampai 9 sembilan dilambangkan dengan kombinasi “Γ” dengan “│”, seperti berikut ini:
            5 = 5 = Γ
            6 = Γ│                                    8 = Γ│││ 
            7 = Γ││                                    9 = Γ││││ 
Selanjutnya angka 10, 100, 1000, 10000 dilambangkan dengan menggunakan huruf-huruf awal nama bilangan tersebut. Angka 10 dilambangkan dengan ∆ (Deka), sedangkan angka 100 dilambangkan  dengan Н (Hekaton). Angka 1000 dalam Yunani disebut Khiloi, kemudian dilambangkan dengan χ. Sementara itu, angka 10000 disebut Myrioi, lalu dilambangkan dengan Ϻ. Secara jelas digambarkan seperti tabel berikut:          
Numera
Lambang
1
10
100
1000
10000
Ι
Δ  [Deka]
Η [Hɛkaton]
Χ [K ʰ ilioi / k ʰ ilias]
Μ[Myrion]

b. Sistem Ionia
Sistem numerasi ionia menggeser pemakaian sistem attic, diperkirakan mulai digunakan  pada awal abad ke 8 SM. Sistem numerasi ionia dipandang lebih maju jika dibandingkan dengan sistem numerasi attic. Sistem ionia menggunakan alfabet (abjad) Yunani sebagai lambang bilangan. Sembilan abjad untuk melambangkan bilangan 1 sampai 9. Sembilan selanjutnya digunakan untuk melambangkan kelipatan 10 yang lebih kecil dari 100. Kemudian sembilan abjad berikutnya digunakan untuk melambangkan kelipatan 100 yang lebih kecil dari 1000. Sementara itu bilangan 10000 dinyatakan dengan M (myriades). 


5.      Sistem Numerasi Matematika Romawi
Sekitar awal tahun 100 M, sistem numerasi Romawi mulai berkembang. Sistem numerasi Romawi memiliki beberapa lambang dasar yaitu I, V, X, L, C, D, dan M yang masing-masing menyatakan angka 1, 5, 10, 50, 100, 500, dan 1000. Penggunaan angka Romawi ini bertahan hingga sekitar abad ke-14, yaitu sampai runtuhnya kekaisaran Romawi. Setelah ini, sistem numerasi sebagian besar diganti dengan sistem numerasi Hindu-Arab.
Lambang X terdiri dari dua lambang V atau jika menggunakan jari tangan maka merupakan sepuluh jari tangan. Namun bisa jadi bermula dari cara umum menghitung dengan tongkat tegak yang berkelompok sepuluh. Penulisan angka Romawi banyak terinspirasi dari lambang alfabet Yunani.
Dalam sistem ini tidak mempunyai nilai tempat, sehingga ketika beberapa lambang dikombinasikan, maka dapat dituliskan lambang demi lambang. Sementara itu, ketika penulisan suatu angka memuat dua lambang dasar, maka berlaku aturan berikut ini:
  • Penjumlahan (jika lambang pada bagian kanan menyatakan bilangan yang lebih kecil atau menyatakan bilangan yang sama jumlahnya).
  • Pengurangan (jika lambang pada bagian kiri menyatakan bilangan yang lebih kecil).

6.      Sistem Numerasi Matematika Hindu-Arab
Sekitar tahun 300 SM, sistem numerasi Hindu-Arab bermula dari India. Pada masa tersebut, sistem numerasi belum menggunakan nilai tempat dan belum mempunyai lambang nol. Sistem nilai tempat diperkirakan mulai digunakan pada tahun 500 M. Sistem numerasi Hindu-Arab menggunakan sistem nilai tempat dengan basis 10. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya jari tangan manusia yang berjumlah 10. Dalam bahasa latin, sepuluh dinyatakan dengan istilah decem, sehingga sistem numerasi Hindu-Arab ini biasa disebut sistem desimal. Lambang nol tidak diketahui kapan mulai ada dan digunakan, namun terdapat beberapa dugaan bahwa lambang nol dalam sistem numerasi Hindu-Arab berasal dari Babilonia lewat Yunani.
Sekitar tahun 750 M sistem Hindu-Arab mulai berkembang di Bagdad. Hal tersebut dibuktikan melalui sejarah yang tertulis dalam buku Liber Algorismi De Numero Indorum karangan matematikawan Arab bernama Al-Khawarizmi.
Numerasi Hindu-Arab dari jaman dahulu hingga sekarang mengalami perkembangan, antara lain sebagai berikut:
1)      Sistem angka desimal
Sistem numerasi Hindu-Arab menggunakan angka 10 sebagai lambang dasar. Hal ini dikarenakan dalam sistem numerasi Hindu-Arab menggunakan basis 10. Lambang dasar yang digunakan dalam sistem ini adalah 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9. Dalam sistem ini, penempatan suatu angka dalam suatu deretan angka menentukan nilainya.
Contoh: 5254 = 5(10)3 + 2(10)2 + 5(10) + 4
Berdasarkan contoh tersebut, angka 5 muncul dua kali dengan tempat yang berbeda, maka nilainya juga berbeda. Angka 5 yang pertama menunjukkan bilangan ribuan yaitu 5000, sedangkan angka lima yang kedua menunjukkan bilangan puluhan yaitu 50.
Dalam sistem numerasi Hindu-Arab berlaku aturan sebagai berikut:
a.       Jika bilangan yang lebih besar dari 1, dipisahkan dari bilangan yang lebih kecil dari 1 (pecahan). Lambang yang digunakan sebagai pemisah adalah tanda desimal yaitu koma (,).
b.      Pada sebelah kiri koma desimal, angka pertama bernilai sebesar angka itu sendiri, angka berikutnya bernilai sepuluh kalinya, angka berikutnya bernilai seratus kalinya, dan seterusnya.
c.       Pada sebelah kanan koma desimal, angka pertama bernilai sepersepuluh angka itu sendiri, kemudian angka berikutnya seperseratusnya, dan seterusnya.
d.      Berlaku perpangkatan. Misalnya dalam penulisan 103, bilangan 3 merupakan “pangkat” yang digunakan sebagai alternatif untuk mengemukakan angka 1000.  Berlaku pula pangkat negatif yang digunakan untuk menuliskan pecahan desimal, yakni 10-3, yang senilai dengan 1/103 atau 1/1000 atau 0,001.
Jika pangkat positif dan negative telah jelas digambarkan. Lalu bagaimana dengan pangkat 0, yaitu 100? Jika ditelisik dari deretan bilangan, maka tampak bahwa 100 berada di antara 101 = 10 dan 10-1 = 1/10. Sehingga dengan demikian 100 ditetapkan sama dengan satu.
2)      Sistem angka non-desimal
Kenyataan bahwa sistem perhitungan kita sekarang yaitu sistem angka desimal mungkin disebabkan karena banyaknya jari kira sepuluh. Seandainya manusia dilengkapi dengan dua belas jari tangan, kemungkinan sistem angka dengan dasar dua belaslah yang digunakan. Angka nondesimal dapat diidentifikasikan dengan memperhatikan indeksnya (subscrip). Sebagai contoh, 3457 adalah suatu angka septimal (basis tujuh).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa sistem numerasi Hindu-Arab yang kita kenal sekarang adalah berasal dari numerasi Arab Timur yang telah berbeda dari asalnya. Secara jelas dijabarkan pada tabel berikut ini.
Hindu-Arab
Arab Timur
Hindu-Arab
Hindu-Arab
1
۱
6
٦
2
۲
7
٧
3
۳
8
٨
4
٤
9
٩
5
٥
10
١٠

 Demikian yang dapat saya paparkan terkait sistem numerisasi matematika dari waktu ke waktu. Semoga bermanfaat :)

Sumber:

0 komentar:

Posting Komentar