Laman

Selasa, 01 Desember 2015

Iceberg VS Volcano



Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-10 (Bagian 2)
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
PPs UNY Pendidikan Matematika kelas A
Selasa, 24 November 2015 Pukul 11.10-12.50 WIB
di lantai tertinggi Gedung Lama PPs UNY ruang R.305b


Jika hidup kita dikomandani oleh spiritual maka pada setiap titiknya akan terjadi hermenitika kehidupan yaitu titik awal, selanjutnya fenomena menajam (dengan saintifik), kemudian fenomena mendatar (membudayakan), dan fenomena mengembang (konstruksi-membangun hidup). Kalau kurikulum hanya menajam (saintifik) saja pada semua mata pelajaran, maka sesungguhnya itu tidak cukup, karena saintifik hanya sepertiga dari aspek hidup kita. Ini yang menjadi kritikan terhadap pendekatan pembelajaran saintifik.
Tidak hanya ada di negeri barat saja, kita di negeri timur pun mengenal filsafat gunung. Di negeri barat dikenal dengan istilah iceberg, di Indonesia disebut volcano (gunung), dalam konteks kependidikan. Hal ini diartikan bahwa filsafat gunung adalah semakin tinggi semakin kecil, merucut, tetapi melingkupinya. Kalau kita pikir, semakin tinggi maka semakin tinggi dimensinya. Maka matematika murni ada di puncak dengan notasi formal. Sementara itu semakin ke bawah semakin konkret yaitu ranah matematika sekolah.
Salah satu sifat gunung berapi adalah memuntahkan larva. Jadi jika kita sebagai kakak sangat mudah marah kepada adik kita. Karena kita berdimensi gunung bagi adik kita. Kita berada di puncak, adik kita berada di lembah. Maka bijaksana lah menjadi gunung itu, karena sangat mudah menentukan aturan, mau mengirimkan larva kemana pun terserah kita. Lembah adalah yang dikuasai, yang menjadi objek. Maka dalam pembelajaran matematika, kalau kita tidak memahami diri siswa. Kita hanya memaksakan siswa sesuai dengan pikiran kita. Maka dianalogikan sedang terjadi peluncuran larva panas dari orang dewasa kepada anak kecil.
Dalam pembelajaran matematika, terjadi fenomena disaster dan amusing. Fenomena tersebut terjadi tergantung kesiapan subjek. Kalau siswa hanya sebagai objek, maka semua fenomena menjadi disaster. Tetapi misal ada letusan gunung, hal itu dapat menghibur orang. Karena dengan adanya teknologi, orang tahu kalau akan adanya gunung meletus, kemudian bergegas menyiapkan kamera, menyewa helicopter. Kemudian ketika gunung meletus dia terbang, mengabadikan proses meletusnya gunung tersebut, dengan begitu justru gambarnya bisa laku terjual. Harapannya matematika bisa seperti itu. Ketika siswa hendak mempelajari matematika hendak melakuakn persiapan, karena kalau siswa tidak siap, maka itu akan menjadi disaster (bencana) bagi dirinya. Namun jika siswa siap, maka justru akan menghibur siswa, siswa akan merasakan senang. Oleh karena itu, siap dan tidak siap tergantung apakah menjadi subjek atau objek. Maka berusaha lah kita menjadi subjek, meski pun bukan subjek sesungguhnya.
Terbentuknya ilmu menurut Immanuel Kant
Batas atas kita adalah dunia pikiran, sedangkan batas bawah kita adalah dunia pengalaman. Pikiran bersifat Apriori, kognisi, analitik. Sementara itu pengalaman bersifat sintetik, aposteriori. Maka tingkat berpikir paling tinggi adalah mengambil keputusan (judgement). Dengan demikian ranah atas berhenti pada axioma, principle, paralogos, antinomy.
Logika itu subsever (turun ke bawah). Pengalaman adalah superserve (naik ke atas). Berdasarkan gambar tersebut, ranah bawah tokohnya adalah David Hume. Sedangkan ranah atas tokohnya adalah Rene Descartes. Masing-masing punya pondamen. Ranah atas berdasarkan pada kesepakatan, bersifat analitik apriori. Sedangkan ranah bawah bersifat sintetik aposteriori.  Kebenaran pada pikiran (ranah atas) bersifat koherensi dan konsistensi. Sedangkan kebenaran pengalaman (ranah bawah) bersifat kecocokan.
Tahukah kita mengapa manusia bisa berpikir? Sesungguhnya manusia bisa berpikir karena manusia mempunyai dua potensi, yaitu fatal dan vital. Fatal dan vital mempunyai 2 unsur kategori: kuantitas, kualitas, hubungan dan modalitas. Masing-masing terdiri dari 3. Jadi mempunyai 12 kategori. Manusia bisa berpikir karena mempunyai 12 kategori. Pada aspek kuantitas, manusia bisa membedakan universal, sebagian, dan tunggal. Kita tidak tahu kapan bisa membedakan tersebut, karena itu intuisi yang diperoleh dari pergaulan atau interaksi dengan keluarga.
Menurut fenomologi dari Husserl, unsur dasar fenomologi ada 2 yaitu idealisasi dan abstraksi. Idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada. Sedangkan abstraksi hanya memandang sesuatu sebagian saja. Fenomologi ada intensi, perhatian, fokus. Maka yang tidak kita pikirkan atau tidak dipakai, akan kita simpan di rumah epoche. Dalam matematika, sifat yang ada dianggap sempurna. Misal sudut lancip, sesungguhnya di dunia tidak ada yang lancip, karena semua tumpul. Andaikata ujung suatu benda terdiri dari suatu atom, maka lintaasan atom pun melingkar. Maka tidak ada benda di dunia ini yang lancip, yang lancip hanya ada dalam pikiran. Tidak ada benda di dunia ini yang lurus, hanya nanti ketika di sirotol mustaqim.
Misalnya guru akan menerangkan pecahan, karena pecahan konsepnya ada di dalam pikiran, maka untuk menerangkan pada anak kecil perlu menggunakan benda-benda di luar pikiran. Itu lah School Mathematics, maka school mathematics definisikan sebagai bukan ilmu, tetapi merupakan kegiatan investigasi.

0 komentar:

Posting Komentar