Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-10
(Bagian 2)
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
PPs UNY Pendidikan Matematika kelas A
Selasa, 24 November 2015 Pukul 11.10-12.50 WIB
di
lantai tertinggi Gedung Lama PPs UNY ruang R.305b
Jika
hidup kita dikomandani oleh spiritual maka pada setiap titiknya akan terjadi
hermenitika kehidupan yaitu titik awal, selanjutnya fenomena menajam (dengan
saintifik), kemudian fenomena mendatar (membudayakan), dan fenomena mengembang
(konstruksi-membangun hidup). Kalau kurikulum hanya menajam (saintifik) saja
pada semua mata pelajaran, maka sesungguhnya itu tidak cukup, karena saintifik
hanya sepertiga dari aspek hidup kita. Ini yang menjadi kritikan terhadap
pendekatan pembelajaran saintifik.
Tidak
hanya ada di negeri barat saja, kita di negeri timur pun mengenal filsafat gunung.
Di negeri barat dikenal dengan istilah iceberg,
di Indonesia disebut volcano (gunung), dalam konteks kependidikan. Hal ini diartikan
bahwa filsafat gunung adalah semakin tinggi semakin kecil, merucut, tetapi
melingkupinya. Kalau kita pikir, semakin tinggi maka semakin tinggi dimensinya.
Maka matematika murni ada di puncak dengan notasi formal. Sementara itu semakin
ke bawah semakin konkret yaitu ranah matematika sekolah.
Salah
satu sifat gunung berapi adalah memuntahkan larva. Jadi jika kita sebagai kakak
sangat mudah marah kepada adik kita. Karena kita berdimensi gunung bagi adik
kita. Kita berada di puncak, adik kita berada di lembah. Maka bijaksana lah
menjadi gunung itu, karena sangat mudah menentukan aturan, mau mengirimkan
larva kemana pun terserah kita. Lembah adalah yang dikuasai, yang menjadi
objek. Maka dalam pembelajaran matematika, kalau kita tidak memahami diri
siswa. Kita hanya memaksakan siswa sesuai dengan pikiran kita. Maka
dianalogikan sedang terjadi peluncuran larva panas dari orang dewasa kepada
anak kecil.
Dalam
pembelajaran matematika, terjadi fenomena disaster
dan amusing. Fenomena tersebut
terjadi tergantung kesiapan subjek. Kalau siswa hanya sebagai objek, maka semua
fenomena menjadi disaster. Tetapi misal
ada letusan gunung, hal itu dapat menghibur orang. Karena dengan adanya teknologi,
orang tahu kalau akan adanya gunung meletus, kemudian bergegas menyiapkan
kamera, menyewa helicopter. Kemudian
ketika gunung meletus dia terbang, mengabadikan proses meletusnya gunung
tersebut, dengan begitu justru gambarnya bisa laku terjual. Harapannya
matematika bisa seperti itu. Ketika siswa hendak mempelajari matematika hendak
melakuakn persiapan, karena kalau siswa tidak siap, maka itu akan menjadi disaster (bencana) bagi dirinya. Namun jika
siswa siap, maka justru akan menghibur siswa, siswa akan merasakan senang. Oleh
karena itu, siap dan tidak siap tergantung apakah menjadi subjek atau objek.
Maka berusaha lah kita menjadi subjek, meski pun bukan subjek sesungguhnya.
Terbentuknya ilmu menurut Immanuel
Kant
Batas
atas kita adalah dunia pikiran, sedangkan batas bawah kita adalah dunia
pengalaman. Pikiran bersifat Apriori, kognisi, analitik. Sementara itu pengalaman
bersifat sintetik, aposteriori. Maka tingkat berpikir paling tinggi adalah
mengambil keputusan (judgement).
Dengan demikian ranah atas berhenti pada axioma,
principle, paralogos, antinomy.
Logika
itu subsever (turun ke bawah). Pengalaman adalah superserve (naik ke atas).
Berdasarkan gambar tersebut, ranah bawah tokohnya adalah David Hume. Sedangkan
ranah atas tokohnya adalah Rene Descartes. Masing-masing punya pondamen. Ranah
atas berdasarkan pada kesepakatan, bersifat analitik
apriori. Sedangkan ranah bawah bersifat sintetik
aposteriori. Kebenaran pada pikiran
(ranah atas) bersifat koherensi dan konsistensi. Sedangkan kebenaran pengalaman
(ranah bawah) bersifat kecocokan.
Tahukah
kita mengapa manusia bisa berpikir? Sesungguhnya manusia bisa berpikir karena
manusia mempunyai dua potensi, yaitu fatal dan vital. Fatal dan vital mempunyai
2 unsur kategori: kuantitas, kualitas, hubungan dan modalitas. Masing-masing
terdiri dari 3. Jadi mempunyai 12 kategori. Manusia bisa berpikir karena
mempunyai 12 kategori. Pada aspek kuantitas, manusia bisa membedakan universal,
sebagian, dan tunggal. Kita tidak tahu kapan bisa membedakan tersebut, karena
itu intuisi yang diperoleh dari pergaulan atau interaksi dengan keluarga.
Menurut
fenomologi dari Husserl, unsur dasar fenomologi ada 2 yaitu idealisasi dan
abstraksi. Idealisasi adalah menganggap sempurna sifat yang ada. Sedangkan abstraksi
hanya memandang sesuatu sebagian saja. Fenomologi ada intensi, perhatian,
fokus. Maka yang tidak kita pikirkan atau tidak dipakai, akan kita simpan di
rumah epoche. Dalam matematika, sifat yang ada dianggap sempurna. Misal sudut
lancip, sesungguhnya di dunia tidak ada yang lancip, karena semua tumpul.
Andaikata ujung suatu benda terdiri dari suatu atom, maka lintaasan atom pun
melingkar. Maka tidak ada benda di dunia ini yang lancip, yang lancip hanya ada
dalam pikiran. Tidak ada benda di dunia ini yang lurus, hanya nanti ketika di
sirotol mustaqim.
Misalnya
guru akan menerangkan pecahan, karena pecahan konsepnya ada di dalam pikiran,
maka untuk menerangkan pada anak kecil perlu menggunakan benda-benda di luar
pikiran. Itu lah School Mathematics,
maka school mathematics definisikan sebagai
bukan ilmu, tetapi merupakan kegiatan investigasi.
0 komentar:
Posting Komentar