Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-8
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
PPs UNY Pendidikan Matematika kelas A
Selasa, 10 November 2015 Pukul 11.10-12.50 WIB
di lantai tertinggi Gedung Lama PPs UNY ruang R.305b
Semua
yang ada dan yang mungkin kalau kita mau memikirkannya, maka kita akan
memikirkan sifat, hubungan, dan struktur antara sifat-sifatnya. Padahal yang
ada dan yang mungkin ada mempunyai bermilyar-milyar sifat pangkat semilyar pun
aku belum selesai menyebutkannya dan takkan mampu. Jikalau aku mampu
menyebutkan maka aku takkan bisa kembali. Dengan keterbatasan manusia tersebut,
maka manusia hanya mampu memikirkan sebagian saja dari yang ada dan yang
mungkin ada. Hal ini karena manusia dibekali
Tuhan dengan metode berpikir reduksi. Dalam filsafat disebut
reduksionisme karena memang manusia sifatnya sebagai seorang reduksifis. Hidup
itu pilihan, kita lahir tidak bisa memilih tetapi dipilihkan oleh Tuhan.
Setelah kita lahir dan diberikan otonom maka kita bisa memilih batas-batas ruang
dan waktu yang mungkin bagi kita. Maka kita akan milih sifat-sifat yang kita
pikirkan tergantung dengan apa yang ingin kita bangun dalam hidup ini.
Sifat-sifat
dari yang satu dengan yang lain saling ber-antitesis.Sifat yang satu bersifat
tetap, dan sifat yang lain bersifat berubah. Tetap saja saya sebagai manusia,
kecil manusia, besar manusia, dewasa manusia, tua pun manusia. Jika jadi fosil
pun maka jadi fosil manusia. Sedangkan yang berubah sudah jelas karena dari
waktu ke waktu selalu berubah. Tokoh dari “tetap” adalah Permenides, dalam
filsafat dikenal dengan Permenidesianisme. Sementara itu tokoh dari “berubah”
adalah Heraclitos, dalam filsafat dikenal dengan Heraclitosianisme. Habibat
bagi yang tetap adalah di dalam pikiran, sedangkan habitat bagi yang berubah
adalah di luar pikiran. Sesuatu yang ada dalam pikiran bersifat absolu atau
ideal. Kemudian di filsafat dikenal dengan absolutisme atau idealisme, dengan
tokohnya adalah Plato (filsafatnya disebut Platonisme). Sementara itu sesuatu
yang ada di luar pikiran kita bersifat real (nyata), dalam filsafat dikenal
dengan realisme. Tokoh dari realisme adalah Aristoteles. Sesuatu yang bersifat
tetap atau disebut bersifat identitas yaitu
I = I. Sementara itu sesuatu yang bersifat berubah disebut bersifat
kontradiksi yaitu I
I (I
pertama tidak sama dengan I kedua karena peduli ruang dan waktu).
Dunia
persepsi yaitu dengan dunia bantuan pancaindera, dapat dilihat, diraba, dll.
Maka kebenarannya disebut cocok atau korespondensi, maka muncu filsafat
korespondensisianisme. Sementara itu antitesisnya adalah konsisten. Pikiran
menjadi ilmu jika mampu konsisten. Dalam dunia ini terdapat sifat yang konkret,
antitesisnya adalah abstrak. Dunia di bawah yaitu sintetik, sedangkan di atas
adalah analitik. Benda-benda dalam sintetik terdapat 3 perkara, yaitu benda
yang satu dengan yang lain saling terhubung, berlaku hukum sebab-akibat, dan
dapat dipersepsi. Terkait dengan Analitik maka chemistry nya adalah apriori.
Karena cukup logis dalam pikiran, maka pikiranku dapat meneruskan logika dari
ide sebelumnya menuju ke ide berikutnya. Maka itu lah yang disebut apriori.
Contoh: dokter memeriksa pasien melalui telephon. Dokter tidak perlu melihat
pasien namun bisa memberikan resep. Itu artinya dia menggunakan prinsip ‘analitik
apriori’. Sedangkan untuk sintetik berchemistry dengan aposteriori. Jika
aposteriori harus dengan melihat dahulu.
Analitik apriori dihasilkan dari cara berpikir dengan rasio. Dalam filsafat disebut dengan rasionalisme. Tokoh dalam aliran ini adalah Rene Descartes . Sementara itu Sintetik apriori merupakan hasil dari empiris. Maka dalam filsafat lahir aliran empirisisme. Tokoh dalam aliran ini adalah David Hume. Rasionalisme dan empirisme ini pada abad akhir 15, selama 1 abad saling bersaing, menyalahkan, dan mengunggulkan. Terjadi bertempuran ide yang hebat antara Rene Descartes dann David Hume. Rene Descartes mengatakan bahwa “tiadalah ilmu kalau tidak berdasarkan rasio”. Sementara itu David Hume menjawab “tiadalah ilmu kalau tidak dibangun di atas pengalaman”. Dari perdebatan yang tak berujung tersebut, kemudian muncul juru damai yaitu Immanuel Kant pada tahun 1671. Immanuel Kant berkata kepada kaum rasionalisme dan empirisme “Wahai kaum rasionalisme, ketahuilah engkau benar namun ada salahnya. Wahai kaum empirisme, ketahuilah engkau pun benar namun ada salahnya. Wahai Rene Descartes, engkau terlalu sombong mendewa-dewakan rasio tetapi mengabaikan pengalaman. Sedangkan engkau David Hume, engkau pun sombong mendewa-dewakan pengalaman tetapi mengabaikan rasio. Maka dengan ini aku damaikan. Bacalah bukuku “Critique of Pure Reason “. Dalam hal ini Immanuel Kant mengambil “Sintetik” dari David Hume dan “Apriori” dari Rene Descartes. Maka Immanuel Kant memproklamirkan bahwa sebenar-benar ilmu adalah “Sintetik Apriori”. Sintetik artinya cobalah, sedangkan Apriori artinya pikirkanlah. Maka sebenar-benar filsafat ilmu adalah pikirkanlah pengalamanmu dan terapkanlah pikiranmu itu.
Dari
salah satu sifat dunia yaitu bersifat formal, maka lahirlah formalism dengan
tokohnya adalah Hilbert. Sementara itu terdapat sifat logis, maka lahirlah
logisisme dengan tokohnya Bertrand Russell.
Dalam
dunia atas terdapat beyond (di luar pikiran) atau dikenal dengan transendentalisme. Sebenar-benar ayam adalah transenden bagi cacing. Sebenar-benar
kita sebagai kakak adalah transenden bagi adik kita. Maka para dewa adalah
transenden bagi para daksa. Pemimpin adalah transenden bagi yang dipimpin.
Subjek adalah transenden bagi objek. Subjek adalah transenden bagi setiap
sifat-sifatnya. Prof Marsigit sadar memakai baju kuning, namun baju kuning
tidak akan mengerti siapa Prof Marsigit. Maka Prof Marsigit transenden bagi
baju kuning.
Dalam
identitas bersifat tunggal.Tunggal atau satu kebenarannya. Misalnya dalil
Phytagoras, bersifat tunggal yang dapat
digunakan dalam situasi apapun, tidak memandang siapa yang menggunakannya.
Adapun yang Maha Tunggal adalah Spiritual. Maka dalam hal ini tunggal disebut Monisme
(Maha Tunggal). Maha Tunggal dari keseluruhan yaitu kuasa Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan
gambar di atas dapat kita lihat dunia konkret, formal, normatif, dan spiritual.
Hal tersebut sangat cocok dengan struktur negera kita Indonesia.
Dengan
segala macam pernak-pernik dunia, terdapat jaman kegelapan. Jaman kegelapan
adalah jaman dimana kebenaran hanya milik gereja. Maka orang lain di luar
gereja tidak ada yang berhak membicarakan kebenaran, apalagi sampai mencari dan
mengklaim kebenaran. Karena semua
kebenaran direkomendasikan dari gereja. Jika ada yang melanggar maka akan
dihukum mati. Salah satu sisa-sisa peninggalan yang masih ada walaupun sudah
mulai ditinggalkan, yaitu Geosentris menuju Heliosentris. Karena gereja berpendapat bahwa bumi adalah pusat dari alam
semesta. Diam-diam orang menggunakan pemikiran yang dirintis oleh Copernicus,
dikenal dengan revolusi Copernicus. Dalam filsafat lahir aliran Copernicusianisme.
Copernicus menyelidi sesuatu dan ditulis lalu disembunyikan karena agar tidak
ketahuan. Karena yang ketahuan akan dikira perdukunan. Sepeti Galileo
Galilei yang
berusaha mengukur kecepatan suara maka dalam hal ini dia dianggap sudah
menyalahi ketentuan gereja. Oleh karena itu Galileo
pun
dibunuh. Copernicus berusaha untuk membantah sesuatu yang sangat besar yang
diyakini oleh gereja. Entah bagaimana pembelaan dari gereja, namun saintifik sudah
jelas di sana digunakan yang seakan-akan menganulir kebenaran yang dibuat oleh gereja.
Kenyataanya ternyata pusat dari alam semesta bukan bumi, namun pusatnya adalah matahari
(Heliosentris). Bumi sebetulnya berputar pada porosnya. Maka jangan berpikir
bahwa kita ini tetap, karena selama hidup (jika dilihat dari perjalanan bumi), kita
tidak akan menempati tempat yang sama. karena bumi berputar mengeliingi matahari.
Pasca
Revolusi Copernicus muncul tokoh baru yaitu Auguste Comte (2 abad yang lalu).
Dia kuliah di Politeknik di Paris namun dropout.
Akhirnya dia membuat buku filsafat. Menurut Auguste Comte, semua yang
dikatakan Rene Descartes, Davis Hume, Immanuel Kant dan semua filsuf besar
adalah meaningless, semua itu tidak
ada artinya sama sekali. Kita hidup di dunia untuk apa? Tidak ada gunanya
selama berabad-abad hanya menimbulkan pertentangan hingga Socrates, Gelileo dll
dihukum mati. Menurut Comte, kalau ingin membangun dunia tidak bisa jika
berlandaskan agama, karena menurutnya agama itu tidak logis (irasional). Comte
berpendapat jika ingin membangun dunia maka gunakan sesuatu yang rasional, maka
agama diletakkan pada bagian paling bawah, lalu disusul dengan filsafat dan
paling atas adalah metode Positive atau Saintifik (metode ilmiah). Maka kita
dapat melihat bahwa dari sini lah benang merah Kurikulum 2013 bersumber dari
pemikiran Comte, dimana agama dimarginalkan. Apakah pengembang kurikulum tidak
memahami? Fenomena Auguste Comte ini menghasilkan kemajuan yang sangat pesat di
dunia. Dengan ditopang oleh ilmu-ilmu dasar, seperti matematika murni, biologi
murni, fisika murni, dll memasukkan teknologi. Sehingga menghasilkan
industrialisasi (revolusi industry) Dunia Barat. Maka tanpa kita sadari hal
tersebut kemudian menjelma dari archaic, tribal, tradisonal, feudal, modern, post
modern, post post modern, dan powernow (kontemporer). Di negera powernow agama
diletakkan pada bagian paling bahwa, sementara itu di Indonesia dengan material,
formal, normative, dan spiritual, dimana spiritual terletak pada bagian paling
atas. Maka dapat dikatakan Indonesia seakan terjepit. Apalagi disokong dengan
kehidupan kapitalisme, pragmatisme, utilitarian, hedonisme, materialisme, liberalisme
yang diciptakan oleh Powernow. Maka Indonesia terkooptasi di bawah pengaruh
kehidupan Powernow.
Kita
belajar filsafat dianalogikan seperti ikan-ikan dimana lautnya sudah banyak
tercemar oleh limbah powernow. Jadi sudah banyak yang sudah mati, namun masih
ada juga yang masih hidup. Seorang sufi berkata “saya melihat banyak orang,
namun hanya sedikit yang masih hidup. Sebenar-benar aku melihat dia adalah
mayat hidup karena di dalam hidupnya tidak ada doa sepenggal pun. Maka dari
ranah spiritual, orang yang tidak mau berdoa maka dianggap telah mati. Sedangkan
seorang filsuf menyatakan “sebenar-benar aku melihat, diantara banyak orang hanya
sedikit yang masih hidup, sedangkan yang lain mati. Karena hanya sedikit orang
yang sedang berpikir, sedangkan yang lain tidak berpikir. Secara filsafat, sebenar-benar
orang mati adalah orang yang sedang tidak berikir. Indikator secara psikologi
adalah mulai mengantuk, mata belalang. Maka dalam blog Prof Marsigit terdapat Elegi
Logos Berubah Menjadi Belalang.
Belajar
filsafat seperti seorang ksatria Bima atau Werkudhara yang mencari wahyu Banyu
Panguripan atau Air kehidupan, walau pun dia ditipu,
difitnah , dsb. Namun dengan ketetapan hati percaya kepasa Yang Kuasa, dengan
intuisi dan ilmunya, dia jalani saja jebakan-jebakan tersebut. Maka dia
digambarkan dapat mencapai ke dasar laut bertemu dengan dewa laut.
Jika
dalam belajar filsafat kita diibaratkan seperti ikan kecil, maka jadilah ikan
kecil yang memahami berbagai aliran air, mana yang tercemar, mana yang masih
bersih. Sehingga jika kita sudah mengetahui, maka kita dapat memposisikan
sebagai ikan yang sehat dan dapat
menghasilkan generasi yang sehat pula.
Fenomena
Auguste Comte secara mikro dan makro akan terus mengalir dalam kehidupan kita.
Ketika kita mengabaikan ibadah hanya karena segenggap smartphone, maka kita
sudah terjangkit fenomena Auguste Comte. Karena fenomena Comte tersebut memilih
dunia daripada akhirat. Sedangkan dalam dunia timur sebenarnya ada solusinya
seperti yang telah dijelaskan dalam
sebuah hadist “bekerjalah untuk
duniamu seakan-akan kamu
akan hidup selamanya,
dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu
akan mati besok”.
Dalam
kaitannya dengan kurikulum 2013, menunjukkan bahwa Indonesia semakin lemah
diantara percaturan dunia. Kita dapat mengibaratkan Indonesia seperti anak ayam
yang kelaparan di dalam lumbungnya sendiri. Sementara makelarnya (Singapura)
kaya raya dan dipercaya. Sedangkan yang mempunyai lumbung (Indonesia) tidak
dipercaya. Maka muncul adanya makelar diplomasi, ini menunjukkan bahwa Negara kita
lemah. Jika sudah lemah, maka melakukan apapun akan serba salah. Negara kita
mempunyai konsep, namun tidak berani mengatakan. Karena jika dikatakan maka
pertanda kita sudah menjadi objek. Maka dengan begitu mau tidak mau, Indonesia
dengan pelan dan pasti mengikuti derap langkah barisan powernow. Pelan tapi
pasti Indonesia akan menjadi Negara cabangnya powernow. Dalam kurikulum 2013,
semua berpotensi menjadi powernow. Kecuali jika kita membuat kurikulum yang
sesuai dengan tema “apapun mata
pelajarnya, maka metodenya adalah saintifik”. Sesungguhnya saintifik hanya fenomena
menajam saja dari fenomena yang lain. Jika hidup kita dikomandani oleh hati/spiritual
maka pada setiap titiknya akan terjadi hermenitika kehidupan (yang meniru
lintasan bumi mengelilingi matahari) yaitu fenomena menajam (dengan saintifik),
kemudian fenomena mendatar (membudayakan), dan fenomena mengembang
(konstruksi-membangun hidup). Maka tidak tepat jika hanya menggunakan saintifik
saja untuk membangun dunia, karena saintifik hanya seperempat dunia. Oleh
karena itu Prof Marsigit dengan gencar mensosialisasikan karyanya dengan cara
gotong royong bersama mahasiswa, menghargai ide dari mahasiswa melalui social media
di dunia internet.
Dalam
peta pendidikan dunia terdapat Industrial
trainer,
Technological pragmatist, Old
humanist,
Progressive educator, Pubilc educator. Idealnya pendidikan
di Indonesia berada pada Progressive
educator
dan Pubilc educator.
Namun kurikulum 2013 mengklaim menggunakan metode saintifik tetapi
pengembangannya tidak berdasarkan saintifik. Hanya berdasarkan ego kepentingan
kelompok. Dalam sosialisasi kurikulum berjalan sembunyi-sembunyi karena tidak
berani adu konseptual. Banyak persoalan yang muncul, mungkin satu aspek baik
dan bermanfaat, namun beberapa aspek lain bermasalah. Secara fundamental, karena
kita bangsa yang gamang, maka yang lemah akan bingung. Saintifik di Indonesia dengan
prinsip 5M (mengamati, menanya, mengasosiali, mengkomunikasi, mencipta). Pada
aspek “menanya”, apa yang ditanya? Guru bingung, pakarnya pun bingung. Jika
kita amati pendidikan di luar negeri, saintifik yang ditampilkan adalah “hipotesis”,
bukan “menanya”. Karena Negara kita gamang, ilmuwannya pun gamang dan tidak
berani adu konsep, maka “hipotesis” dipelintir dengan “menanya”. Kemudian pada
aspek “mengkomunikasi”, maksud dari “mengkomunikasi: itu ap? Menurut Auguste
Comte, saintifik mempunyai 4 aspek dan aspek yang terakhir adalah “history”.
Namun di sini “history” dihilangkan dan diganti “mengkomunikasikan”.
Sesungguhnya jika kita berpikir bahwa manusia hidupnya bersejarah, maka itu
ranahnya ilmu-ilmu humaniora, pasti ada cerita, konstrukti, kualitatifnya.
Namun karena di Indonesia saintifik yang menciptakan adalah para pendekar ilmu-ilmu
dasar (murni) dengan teknologinya, maka tidak lah mungkin menteri pendidikan
dan tokoh-tokoh diambil dari sini. Tapi diambil dari sana, orang-orang yang
dianggap berjasa sebagai ujung tombak dari monster powernow, dimana backbonenya
adalah eskploitasi alam. Indonesia diekploitasi dari barat hingga timur, kita
hanya mendapatnya debu dan asapnya saja. Oleh karena itu, karena kita bangsa
yang lemah, maka jika ke luar negeri, entah ke Cina, Amerika, dll, kita
menggunakan bahasa diplomasi hanya dengan satu kata, yaitu “investasi”. Namun
lama kelamaan Negara barat bosan juga, karena kekayaan Indonesia sudah mulai
habis. Karena kelemahan Negara kita ini menjadikan tidak percaya diri di
persimpangan jalan. Negara kita yang begitu besar bagaikan anak ayam berhadapan
dengan rajawali. Fenomena Comte ini sungguh tidak bisa dihindari. Namun
tetaplah jadikan hati kita menjadi komandan atas sifat dan sikap kita di dunia.
Tak lupa untuk selalu berdoa kepada Allah SWT agar tidak lalai akan dunia yang
fana ini. Semoga kita kuat menghadapi dunia yang semakin antah berantah ini dan
semoga kita tetap berada di jalan-Nya yang lurus. Aamiin.
Demikian
refleksi dari perkuliahan Filsafat Ilmu pertemuan ke-8. Semoga kita dapat
mengambil hikmah dari apa yang telah dipelajari dan bermanfaat bagi kehidupan
kita. Aamiin. :) :) :)
0 komentar:
Posting Komentar