Mata Kuliah: Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Heri Retnawati
ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI DITINJAU DARI TEORI
VAN HIELE PADA MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY
LEARNING BERBANTU GEOGEBRA
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Kemampuan Pemecahan Masalah
Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak
begitu segera dapat dicapai. Sedangkan Krulik dan Rudnik
(1995: 4) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses di mana
individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah
diperoleh untuk penyelesaian masalah pada situasi yang tidak dikenalnya.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menetapkan pemecahan masalah sebagai
salah satu dari lima standar proses matematika sekolah. Oleh karena itu
pemecahan masalah termasuk dalam salah satu tujuan utama pendidikan matematika.
NCTM menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus dari pembelajaran
matematika, karena pemecahan masalah merupakan sarana mempelajari ide dan
keterampilan matematika (Van de Walle, 2008: 4). Menurut
Sumarmo (1994) mengartikan pemecahan masalah matematika sekolah sebagai
kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin,
mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan
membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.
Berdasarkan pengertian-pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan suatu potensi
dalam usaha mencari jalan keluar dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan,
dan pemahaman yang telah diperoleh untuk menemukan solusi dari suatu masalah
belum dikenalnya. Pemecahan masalah merupakan bagian penting dalam pembelajaran
matematika di sekolah. Kegiatan siswa dalam pemecahan masalah antara lain siswa
menyelesaikan soal cerita dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan mereka
sehari-hari.
B. Geometri
Geometri merupakan salah satu cabang
matematika yang diajarkan di tingkat dasar hingga tingkat menengah atas.
Ruseffendi (1985: 24) berpendapat bahwa mempelajari geometri dapat menumbuhkan
dan mengembangkan kemampuan berpikir logis. Pendapat yang senada disampaikan
oleh Kennedy (1994:385) yang mengatakan bahwa pengalaman yang didapat dalam
mempelajari geometri dapat menumbuhkan kemampuan berfikir logis, mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah dan pemberian alasan serta dapat mendukung banyak
topik lain dalam matematika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan
mempelajari geometri memberikan manfaat bagi siswa untuk dapat mengembangkan
kemampuan berpikir logis dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
Geometri
merupakan salah satu materi yang diajarkan di kelas VII semester I pada
Kurikulum 2013. Berdasarkan silabus mata pelajaran matematika, kelas VII di
semester I akan mempelajari geometri dengan materi pokok segitiga dan
segiempat, serta tranformasi.
Menurut
Bobango (1993: 148) tujuan
pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan
matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara
matematik, dan dapat bernalar secara matematik. Namun pada kenyataannya, masih
ditemui siswa yang belum mencapi tujuan dari pembelajaran geometri tersebut.
Kesulitan siswa dalam mempelajari geometri berdasarkan penemuan
Soejadi (dalam Herawati,l994:4), antara lain: l) Siswa sukar mengenali dan memahami
bangun-bangun geometri terutama bangun ruang serta unsur-unsurnya, 2) Siswa
sulit menyebutkan unsur unsur bangun ruang, misal siswa menyatakan bahwa
pengertian rusuk bangun ruang sama dengan sisi bangun datar. Pada
materi Geometri masih ditemui siswa yang mengalami kesulitan dalam menganalisis
masalah, merencanakan penyelesaian masalah dan melakukan perhitungan yang
berkaitan dalam pemecahan masalah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi geometri
kurang dikuasai oleh sebagian besar siswa. Muliawati (2000: 3) melaporkan hasil
penelitiannya bahwa aspek pemecahan masalah geometri dapat membangkitkan
semangat dalam belajar dan sangat bermanfaat, tetapi pelajaran formal geometri
dapat menimbulkan frustasi bagi siswa.
C. Teori Van Hiele
Teori Van Hiele
dicetuskan oleh Dina Van Hiele dan Pierre Van Hiele. Teori ini
dapat digunakan untuk mengukur kemampuan geometri siswa. Dalam teori ini tingkat berfikir geometri siswa
melalui 5 level secara berurutan, yaitu; level 0 (Visualisasi), level 1(Analisis),
level 2 (Abstraksi), level 3 (Deduksi), level 4 (Rigor). Wirszup (1976) dan
Hoffer (1979) melakukan penomoran ulang dimana level 0 menjadi level 1, level 1
menjadi level 2 dan seterusnya.
Pada tahun 1986, Piere Van hiele mulai menggunakan skala 1 – 5, dan kebanyakan peneliti menggunakan skala tersebut hingga saat ini. Level-level tersebut yaitu; level 1 (Visualisasi), level 2 (Analisis), level 3 (Abstraksi), level 4 (Deduksi), level 5 (Rigor). Setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui level demi level dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level di bawahnya pasti sudah dikuasai. Berikut ini penjabaran teori Van Hiele dari level 1 hingga 5.
Pada tahun 1986, Piere Van hiele mulai menggunakan skala 1 – 5, dan kebanyakan peneliti menggunakan skala tersebut hingga saat ini. Level-level tersebut yaitu; level 1 (Visualisasi), level 2 (Analisis), level 3 (Abstraksi), level 4 (Deduksi), level 5 (Rigor). Setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui level demi level dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level di bawahnya pasti sudah dikuasai. Berikut ini penjabaran teori Van Hiele dari level 1 hingga 5.
1)
Level 1 (Visualisasi)
Pada level ini siswa mengenali
bangun secara visual tanpa mengetahui
sifat-sifat bangun tersebut. Siswa dikenalkan dengan bangun-bangun geometri seperti persegi, persegi panjang, segitiga dan bangun-bangun lainnya. Pada level ini siswa memberikan keputusan berdasarkan persepsi, bukan penalaran. Misalnya, mereka mengatakan
bahwa bangun yang diketahui adalah persegi panjang, karena seperti buku tulis. Pada level ini siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri tersebut.
sifat-sifat bangun tersebut. Siswa dikenalkan dengan bangun-bangun geometri seperti persegi, persegi panjang, segitiga dan bangun-bangun lainnya. Pada level ini siswa memberikan keputusan berdasarkan persepsi, bukan penalaran. Misalnya, mereka mengatakan
bahwa bangun yang diketahui adalah persegi panjang, karena seperti buku tulis. Pada level ini siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri tersebut.
2)
Level 2 (Analisis)
Pada level ini siswa sudah dapat
memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Misalnya siswa akan
mengatakan bahwa persegi mempunyai empat sisi yang sama panjang dan empat sudut
siku-siku. Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antara bangun-bangun
geometri dan memahami definisi (Clements & Battista, 1992:427), misalnya
persegi adalah juga persegi panjang, dan persegi panjang adalah juga
jajargenjang.
3)
Level 3 (Abstraksi)
Pada lebel ini pemahaman siswa terhadap
geometri lebih meningkat lagi dari level sebelumnya. Level ini sering disebut
juga pengurutan (ordering) atau deduksi informal (informal deduction).
Siswa sudah mampu mengetahui hubungan antar bangun-bangun geometri. Siswa membentuk
definisi abstrak dan dan memberi argumen informal untuk membenarkan penalaran
mereka. Siswa dapat membedakan antara syarat perlu dan cukup dari himpunan
sifat-sifat untuk menentukan suatu konsep. Jadi, pada level ini siswa sudah
memahami, misal persegi adalah juga persegi panjang, persegi panjang adalah
juga jajar genjang, persegi adalah juga belah ketupat, belah ketupat adalah
juga jajargenjang.
4)
Level 4 (Deduksi)
Pada level ini, kemampuan siswa berpikir
deduksi mulai berkembang. Siswa mampu mengambil kesimpulan secara deduktif.
Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal
yang bersifat khusus. Misalnya, mengambil kesimpulan bahwa besar sudut yang
berhadapan pada jajargenjang sama; hal ini belum tuntas bila hanya dengan cara
induktif, misalnya dengan memotong-motong sudut-sudut benda segiempat dan
menunjukkan bahwa jumlah sudut yang berdekatan 1800. Tetapi harus
membuktikannya secara deduktif, misalnya dengan menggunakan prinsip kesejajaran.
Khoiri (2014).
5)
Level 5 (Rigor)
Pada level ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya ketepatan
dari apa-apa yang mendasar.Misalnya, ketepatan dari aksioma-aksioma yang
menyebabkan terjadi geometri Euclides. Siswa memahami apa itu geometri Euclides
dan apa itu geometri non-Euclides. Level ini merupakan level berpikir yang
kedalamannya serupa dengan yang dimiliki oleh seorang ahli matematika (Clements
& Battista, 1992:428).
D. Model Pembelajaran Discovery Learning Berbantu Geogebra
D. Model Pembelajaran Discovery Learning Berbantu Geogebra
Metode Discovery Learning adalah teori
belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang
terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya,
tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri (Kemendikbud). Sementara itu menurutu
Joolingen (1999: 386), discovery learning adalah pembelajaran dimana
siswa membangun pengetahuan mereka sendiri dengan bereksperimen, dan membuat
kesimpulan aturan/konsep dari hasil eksperimennya tersebut. Berdasarkan
pengertian-pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa discovery learning adalah suatu metode pembelajaran yang bertujuan
agar siswa dapat menemukan sendiri konsep yang belum diketahui melalui sebuah
eksperimen.
Menurut
Syah (2013: 243), tahapan dan prosedur pelaksanaan discovery learning adalah
sebagai berikut: stimulation, problem statement, data
collection, data processing, verification, dan generalization.
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberikan Rangsangan)
Pada tahap ini siswa dihadapkan
pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul keinginan pada diri siswa untuk menyelidiki
sendiri. Di samping itu guru dapat memulai pembelajaran dengan mengajukan
pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah
pada persiapan pemecahan masalah.
2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Pada tahap problem statement, guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
permasalahan tersebut) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni
pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis
permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun
siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
Dalam tahap ini guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Tahap ini berfungsi untuk menjawab
pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian siswa
diberikan kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara
dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Oleh karena itu
pada tahap ini siswa dituntut belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang
berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak
disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
Pada tahap data processing, semua
informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, diolah, diacak,
diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu
serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan
pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan
generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan
baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian masalah yang harus dibuktikan
secara logis.
5) Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification bertujuan agar siswa untuk
menemukan suatu konsep, prinsip, atau teori, melalui contoh-contoh yang ia
jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil pengolahan data yang
telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka pada tahap ini siswa harus
menganalisis apakah hipotesis yang telah diajakan terbukti atau tidak.
6)
Generalization (Menarik Kesimpulan)
Pada tahap generalization siswa
menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk
semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Syah, 2004:244). Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses
generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan
kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang,
serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman
itu.
Semua model pembelajaran pasti mempunyai keunggulan dan
kelemahan masing-masing. Adapun keunggulan dari model pembelajaran discovery learning antara lain:
- siswa aktif dalam kegiatan belajar sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir;
- siswa memahami dengan benar sebab mengalami sendiri proses menemukannya, sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat;
- menemukan sendiri menimbulkan rasa puas, kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi hingga minat belajarnya meningkat;
- siswa memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
- metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
Sementara
itu, kelemahan dari model pembelajaran discovery
learning sebagai berikut:
- metode ini banyak menyita waktu juga tidak menjamin siswa bersemangat mencari penemuan penemuan;
- tidak semua guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan karena tugas guru saat ini cukup berat;
- tidak semua anak mampu melakukan penemuan apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuan juga bimbingan yang terlalu banyak dapat mematikan inisiatifnya;
- metode ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan tiap topik;
- kelas yang banyak siswanya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan bimbingan dan pengarahan belajar dengan metode penemuan.
Menurut Kusumah (2003), inovasi pembelajaran dengan bantuan
komputer sangat baik untuk diintegrasikan dalam pembelajaran konsep-konsep
matematika, terutama yang menyangkut transformasi geometri, kalkulus, statistika,
dan grafik fungsi. Adapun salah satu program komputer yang dapat dimanfaatkan
sebagai media pembelajaran matematika adalah Geogebra. GeoGebra merupakan
program komputer yang dikembangkan oleh Markus Hohenwarter pada tahun 2001.
Menurut Hohenwarter (2008), Geogebra adalah program komputer untuk membelajarkan matematika khususnya geometri dan aljabar. Menurut Lavicza (Hohenwarter, 2010), sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Geogebra dapat mendorong proses penemuan dan eksperimentasi siswa di kelas. Berbagai fitur dalam Geogebra bermanfaat dalam pembelajaran matematika untuk memvisualisasikan konsep-konsep matematika. Dengan demikian maka dapat dikaloborasikan antara model pembelajaran discovery learning dengan Geogebra.
Menurut Hohenwarter (2008), Geogebra adalah program komputer untuk membelajarkan matematika khususnya geometri dan aljabar. Menurut Lavicza (Hohenwarter, 2010), sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Geogebra dapat mendorong proses penemuan dan eksperimentasi siswa di kelas. Berbagai fitur dalam Geogebra bermanfaat dalam pembelajaran matematika untuk memvisualisasikan konsep-konsep matematika. Dengan demikian maka dapat dikaloborasikan antara model pembelajaran discovery learning dengan Geogebra.
KERANGKA PIKIR
VARIABEL
PENELITIAN
A. Jenis-jenis
Variabel
Dalam penelitian ini terdapat
variabel bebas, variabel terikat dan variabel moderator.
1. Variabel
bebas
Dalam
penelitian ini variabel bebasnya adalah Model Pembelajaran Discovery
Learning Berbantu Geogebra dan Model Pembelajaran Discovery
Learning .
2.
Variabel terikat
Dalam penelitian
ini variabel terikatnya adalah Kemampuan
Pemecahan Masalah Geometri .
3.
Variabel moderator
Variabel moderator dalam penelitian
ini adalah Teori Van Hiele .
B. Hubungan
antar variabel
Hubungan antar variabel yang
terjadi antara lain:
1. Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
1. Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
Hubungan sebab akibat antara model pembelajaran Discovery Learning dengan kemampuan
pemecahan masalah dan hubungan sebab akibat antara model pembelajaran Discovery Learning berbantu Geogebra dengan
kemampuan pemecahan masalah.
2. Pengaruh variabel moderator terhadap hubungan variabel bebas dan variabel terikat
Pengaruh teori Van Hiele terhadap hubungan model pembelajaran Discovery Learning dengan kemampuan pemecahan masalah dan pengaruh teori Van Hiele terhadap hubungan model pembelajaran Discovery Learning berbantu Geogebra dengan kemampuan pemecahan masalah.
2. Pengaruh variabel moderator terhadap hubungan variabel bebas dan variabel terikat
Pengaruh teori Van Hiele terhadap hubungan model pembelajaran Discovery Learning dengan kemampuan pemecahan masalah dan pengaruh teori Van Hiele terhadap hubungan model pembelajaran Discovery Learning berbantu Geogebra dengan kemampuan pemecahan masalah.
INDIKATOR PENELITIAN
Berikut ini beberapa indikator kemampuan pemecahan masalah
matematika menurut NCTM (1989: 209):
- mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan;
- merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik;
- menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika;
- menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal;
- menggunakan matematika secara bermakna.
REFERENSI
Bobango, J.C. 1993. Geometry for all student: Phase-Based Instruction.
Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The
National Council of Teachers of Mathematics,Inc.
Clements, D. H & Battista. 1992. Geometry and Spatial
Reasoning. Dalam D.A. Grows, (ed.). Handbook of Research on Teaching and
Learning Mathematics. (pp. 420-464). New York: MacMillan Publisher Company.
Fauzan, Ahmad. 2011. Modul 1 Evaluasi Pembelajaran Matematika:
Pemecahan
Masalah Matematika. Evaluasimatematika.net: UNP.
Masalah Matematika. Evaluasimatematika.net: UNP.
Herawati,Susi.1994. Penulusuran Kemampuan Siswa Sekolah Dasar
Dalam Memahami Bangun-Bangun Geometri. Tesis. Program Pasca Sarjana IKIP
Malang.
Hohenwarter,
Markus, et al. 2008. Teaching and Learning Calculus with Free
Dynamic Mathematics Software GeoGebra. Tersedia: http://www.publications.
uni.lu/record/2718/files/ICME11-TSG16.pdf.
Joolingen, V. W. 1999. “Cognitive Tools for Discovery learning”. International
Journal of Artificial Intelligence in Education, Volume 10. Hal
385-397.
Syah, M. 2013. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru (Edisi Reevisi). Bandung: Rosdakarya.
Kennedy,L.M. Tipps Steve. 1994. Guiding Children’s Learning of Mathematics.
: Wadswarsh Publishing Company.
Khoiri, Miftahul. 2014. Pemahaman Siswa Pada Konsep Segiempat
Berdasarkan
Teori van Hiele. Prosiding Seminar Nasional Matematika, Universitas Jember.
Teori van Hiele. Prosiding Seminar Nasional Matematika, Universitas Jember.
Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse
A. 1995. The New Sourcebook for
Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham
Heights:Allyn & Bacon.
Kusumah,
Yaya S. 2003. Desain dan Pengemangan Bahan
Ajaer Matematika Interaktif Berbasiskan Teknologi Komputer. Makalah pada
seminar Proceeding National Seminar on
Scient and Math Education, Bandung.
Muliawati, Eni. 2000. Pengembangan Tugas kinerjaGeometri Dalam
Rangka Pelaksanaan Model Kooperatif Tipe STAD di SLTP. Tesis. Program
Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya.
NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standars for School
Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Polya, George. 1985. How To Solve
It 2nd ed. New Jersey : Princeton University Press
Suherman, Erman. 2001. Common Text Book Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung : UPI- JICA.
Ruseffendi, E.T. (1985). Pengajaran Matematika Moderen untuk Orang
Tua Murid, Guru dan SPG, buku 6. Bandung: Tarsito.
Sumarmo, U, Dedy, E dan Rahmat. 1994. Suatu Alternatif
Pengajaran untuk Meningkatkan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan
Siswa SMA. Laporan Hasil Penelitian FPMIPA IKIP Bandung
Van
de Walle, J. A. 1994. Elementary School
Mathematics: Teaching Devolementally (2 nd Edition). New York : Longman.
0 komentar:
Posting Komentar