Laman

Senin, 19 Oktober 2015

Projek 1



Mata Kuliah: Metodologi Penelitian Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Heri Retnawati



ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI DITINJAU DARI TEORI VAN HIELE PADA MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING BERBANTU GEOGEBRA



KAJIAN PUSTAKA


     A.    Kemampuan Pemecahan Masalah
Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan guna mencapai suatu tujuan yang tidak begitu segera dapat dicapai. Sedangkan Krulik dan Rudnik (1995: 4) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan proses di mana individu menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah diperoleh untuk penyelesaian masalah pada situasi yang tidak dikenalnya.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) menetapkan pemecahan masalah sebagai salah satu dari lima standar proses matematika sekolah. Oleh karena itu pemecahan masalah termasuk dalam salah satu tujuan utama pendidikan matematika. NCTM menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan fokus dari pembelajaran matematika, karena pemecahan masalah merupakan sarana mempelajari ide dan keterampilan matematika (Van de Walle, 2008: 4). Menurut Sumarmo (1994) mengartikan pemecahan masalah matematika sekolah sebagai kegiatan menyelesaikan soal cerita, menyelesaikan soal yang tidak rutin, mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau keadaan lain, dan membuktikan atau menciptakan atau menguji konjektur.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah merupakan suatu potensi dalam usaha mencari jalan keluar dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah diperoleh untuk menemukan solusi dari suatu masalah belum dikenalnya. Pemecahan masalah merupakan bagian penting dalam pembelajaran matematika di sekolah. Kegiatan siswa dalam pemecahan masalah antara lain siswa menyelesaikan soal cerita dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan mereka sehari-hari.
     
     B.     Geometri
     Geometri merupakan salah satu cabang matematika yang diajarkan di tingkat dasar hingga tingkat menengah atas. Ruseffendi (1985: 24) berpendapat bahwa mempelajari geometri dapat menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan berpikir logis. Pendapat yang senada disampaikan oleh Kennedy (1994:385) yang mengatakan bahwa pengalaman yang didapat dalam mempelajari geometri dapat menumbuhkan kemampuan berfikir logis, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dan pemberian alasan serta dapat mendukung banyak topik lain dalam matematika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari geometri memberikan manfaat bagi siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir logis dan meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
     Geometri merupakan salah satu materi yang diajarkan di kelas VII semester I pada Kurikulum 2013. Berdasarkan silabus mata pelajaran matematika, kelas VII di semester I akan mempelajari geometri dengan materi pokok segitiga dan segiempat, serta tranformasi.
     Menurut Bobango (1993: 148) tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik. Namun pada kenyataannya, masih ditemui siswa yang belum mencapi tujuan dari pembelajaran geometri tersebut.
     Kesulitan siswa dalam mempelajari geometri berdasarkan penemuan Soejadi (dalam Herawati,l994:4), antara lain: l) Siswa sukar mengenali dan memahami bangun-bangun geometri terutama bangun ruang serta unsur-unsurnya, 2) Siswa sulit menyebutkan unsur unsur bangun ruang, misal siswa menyatakan bahwa pengertian rusuk bangun ruang sama dengan sisi bangun datar. Pada materi Geometri masih ditemui siswa yang mengalami kesulitan dalam menganalisis masalah, merencanakan penyelesaian masalah dan melakukan perhitungan yang berkaitan dalam pemecahan masalah. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi geometri kurang dikuasai oleh sebagian besar siswa. Muliawati (2000: 3) melaporkan hasil penelitiannya bahwa aspek pemecahan masalah geometri dapat membangkitkan semangat dalam belajar dan sangat bermanfaat, tetapi pelajaran formal geometri dapat menimbulkan frustasi bagi siswa. 
      
     C.    Teori Van Hiele
     Teori Van Hiele dicetuskan oleh Dina Van Hiele dan Pierre Van Hiele. Teori ini dapat digunakan untuk mengukur kemampuan geometri siswa. Dalam teori ini tingkat berfikir geometri siswa melalui 5 level secara berurutan, yaitu; level 0 (Visualisasi), level 1(Analisis), level 2 (Abstraksi), level 3 (Deduksi), level 4 (Rigor). Wirszup (1976) dan Hoffer (1979) melakukan penomoran ulang dimana level 0 menjadi level 1, level 1 menjadi level 2 dan seterusnya. 
     Pada tahun 1986, Piere Van hiele mulai menggunakan skala 1 – 5, dan kebanyakan peneliti menggunakan skala tersebut hingga saat ini. Level-level tersebut yaitu; level 1 (Visualisasi), level 2 (Analisis), level 3 (Abstraksi), level 4 (Deduksi), level 5 (Rigor). Setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui level demi level dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level di bawahnya pasti sudah dikuasai. Berikut ini penjabaran teori Van Hiele dari level 1 hingga 5.
1)      Level 1 (Visualisasi)
Pada level ini siswa mengenali bangun secara visual tanpa mengetahui
sifat-sifat bangun tersebut. Siswa dikenalkan dengan bangun-bangun geometri seperti persegi, persegi panjang, segitiga dan bangun-bangun lainnya. Pada level ini siswa memberikan keputusan berdasarkan persepsi, bukan penalaran. Misalnya, mereka mengatakan
bahwa bangun yang diketahui adalah persegi panjang, karena seperti buku tulis. Pada level ini siswa belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri tersebut.
2)      Level 2 (Analisis)
Pada level ini siswa sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Misalnya siswa akan mengatakan bahwa persegi mempunyai empat sisi yang sama panjang dan empat sudut siku-siku. Tetapi ia belum dapat memahami hubungan antara bangun-bangun geometri dan memahami definisi (Clements & Battista, 1992:427), misalnya persegi adalah juga persegi panjang, dan persegi panjang adalah juga jajargenjang.
3)      Level 3 (Abstraksi)
Pada lebel ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari level sebelumnya. Level ini sering disebut juga pengurutan (ordering) atau deduksi informal (informal deduction). Siswa sudah mampu mengetahui hubungan antar bangun-bangun geometri. Siswa membentuk definisi abstrak dan dan memberi argumen informal untuk membenarkan penalaran mereka. Siswa dapat membedakan antara syarat perlu dan cukup dari himpunan sifat-sifat untuk menentukan suatu konsep. Jadi, pada level ini siswa sudah memahami, misal persegi adalah juga persegi panjang, persegi panjang adalah juga jajar genjang, persegi adalah juga belah ketupat, belah ketupat adalah juga jajargenjang.
4)      Level 4 (Deduksi)
Pada level ini, kemampuan siswa berpikir deduksi mulai berkembang. Siswa mampu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Misalnya, mengambil kesimpulan bahwa besar sudut yang berhadapan pada jajargenjang sama; hal ini belum tuntas bila hanya dengan cara induktif, misalnya dengan memotong-motong sudut-sudut benda segiempat dan menunjukkan bahwa jumlah sudut yang berdekatan 1800. Tetapi harus membuktikannya secara deduktif, misalnya dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Khoiri (2014).
5)      Level 5 (Rigor)
Pada level ini, siswa sudah dapat memahami pentingnya ketepatan dari apa-apa yang mendasar.Misalnya, ketepatan dari aksioma-aksioma yang menyebabkan terjadi geometri Euclides. Siswa memahami apa itu geometri Euclides dan apa itu geometri non-Euclides. Level ini merupakan level berpikir yang kedalamannya serupa dengan yang dimiliki oleh seorang ahli matematika (Clements & Battista, 1992:428). 

  D.    Model Pembelajaran Discovery Learning Berbantu Geogebra
     Metode Discovery Learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasi sendiri (Kemendikbud). Sementara itu menurutu Joolingen (1999: 386), discovery learning adalah pembelajaran dimana siswa membangun pengetahuan mereka sendiri dengan bereksperimen, dan membuat kesimpulan aturan/konsep dari hasil eksperimennya tersebut. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa discovery learning adalah suatu metode pembelajaran yang bertujuan agar siswa dapat menemukan sendiri konsep yang belum diketahui melalui sebuah eksperimen.
     Menurut Syah (2013: 243), tahapan dan prosedur pelaksanaan discovery learning adalah sebagai berikut: stimulation, problem statement, data collection, data processing, verification, dan generalization.
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberikan Rangsangan)
Pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan pada diri siswa untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai pembelajaran dengan mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. 
2)      Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Pada tahap problem statement, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas permasalahan tersebut) (Syah 2004:244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk menemukan suatu masalah. 
3)      Data Collection (Pengumpulan Data)
Dalam tahap ini guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis. Dengan demikian siswa diberikan kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Oleh karena itu pada tahap ini siswa dituntut belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4)      Data Processing (Pengolahan Data)
Pada tahap data processing, semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22). Data processing disebut juga dengan pengkodean/kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian masalah yang harus dibuktikan secara logis.
5)      Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification bertujuan agar siswa untuk menemukan suatu konsep, prinsip, atau teori, melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya, maka pada tahap ini siswa harus menganalisis apakah hipotesis yang telah diajakan terbukti atau tidak.
6)         Generalization (Menarik Kesimpulan)
Pada tahap generalization siswa menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.
       Semua model pembelajaran pasti mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Adapun keunggulan dari model pembelajaran discovery learning antara lain:
  1.  siswa aktif dalam kegiatan belajar sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir;
  2. siswa memahami dengan benar sebab mengalami sendiri proses menemukannya, sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat;
  3. menemukan sendiri menimbulkan rasa puas, kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan penemuan lagi hingga minat belajarnya meningkat;
  4. siswa memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
  5. metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.
Sementara itu, kelemahan dari model pembelajaran discovery learning sebagai berikut:
  1. metode ini banyak menyita waktu juga tidak menjamin siswa bersemangat mencari penemuan penemuan;
  2. tidak semua guru mempunyai selera atau kemampuan mengajar dengan cara penemuan karena tugas guru saat ini cukup berat; 
  3.  tidak semua anak mampu melakukan penemuan apabila bimbingan guru tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa, ini dapat merusak struktur pengetahuan juga bimbingan yang terlalu banyak dapat mematikan inisiatifnya;
  4. metode ini tidak dapat digunakan untuk mengajarkan tiap topik;
  5. kelas yang banyak siswanya akan sangat merepotkan guru dalam memberikan bimbingan dan pengarahan belajar dengan metode penemuan.
     Menurut Kusumah (2003), inovasi pembelajaran dengan bantuan komputer sangat baik untuk diintegrasikan dalam pembelajaran konsep-konsep matematika, terutama yang menyangkut transformasi geometri, kalkulus, statistika, dan grafik fungsi. Adapun salah satu program komputer yang dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran matematika adalah Geogebra. GeoGebra merupakan program komputer yang dikembangkan oleh Markus Hohenwarter pada tahun 2001.
     Menurut Hohenwarter (2008), Geogebra adalah program komputer untuk membelajarkan matematika khususnya geometri dan aljabar. Menurut Lavicza (Hohenwarter, 2010), sejumlah penelitian menunjukkan bahwa Geogebra dapat mendorong proses penemuan dan eksperimentasi siswa di kelas. Berbagai fitur dalam Geogebra bermanfaat dalam pembelajaran matematika untuk memvisualisasikan konsep-konsep matematika. Dengan demikian maka dapat dikaloborasikan antara model pembelajaran discovery learning dengan Geogebra.

KERANGKA PIKIR 




VARIABEL PENELITIAN

A.    Jenis-jenis Variabel
Dalam penelitian ini terdapat variabel bebas, variabel terikat dan variabel moderator.
1.      Variabel bebas
       Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah Model Pembelajaran Discovery Learning  Berbantu Geogebra  dan Model Pembelajaran Discovery Learning .
2.      Variabel terikat
       Dalam penelitian ini variabel terikatnya adalah Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri .
3.      Variabel moderator
       Variabel moderator dalam penelitian ini adalah Teori Van Hiele .
B.     Hubungan antar variabel
Hubungan antar variabel yang terjadi antara lain:  
1. Hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat
Hubungan sebab akibat antara model pembelajaran Discovery Learning dengan kemampuan pemecahan masalah dan hubungan sebab akibat antara model pembelajaran Discovery Learning berbantu Geogebra dengan kemampuan pemecahan masalah. 
2. Pengaruh variabel moderator terhadap hubungan variabel bebas dan variabel terikat
Pengaruh teori Van Hiele terhadap hubungan model pembelajaran Discovery Learning dengan kemampuan pemecahan masalah dan pengaruh teori Van Hiele terhadap hubungan model pembelajaran Discovery Learning berbantu Geogebra dengan kemampuan pemecahan masalah.


INDIKATOR PENELITIAN 
       Berikut ini beberapa indikator kemampuan pemecahan masalah matematika menurut NCTM (1989: 209):
  1. mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan; 
  2.  merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik; 
  3.  menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika;
  4. menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; 
  5.  menggunakan matematika secara bermakna.



REFERENSI
Bobango, J.C. 1993. Geometry for all student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics,Inc.
Clements, D. H & Battista. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Dalam D.A. Grows, (ed.). Handbook of Research on Teaching and Learning Mathematics. (pp. 420-464). New York: MacMillan Publisher Company.
Fauzan, Ahmad. 2011. Modul 1 Evaluasi Pembelajaran Matematika: Pemecahan
Masalah Matematika. Evaluasimatematika.net: UNP.
Herawati,Susi.1994. Penulusuran Kemampuan Siswa Sekolah Dasar Dalam Memahami Bangun-Bangun Geometri. Tesis. Program Pasca Sarjana IKIP Malang.
Hohenwarter, Markus, et al. 2008. Teaching and Learning Calculus with Free Dynamic Mathematics Software GeoGebra. Tersedia: http://www.publications. uni.lu/record/2718/files/ICME11-TSG16.pdf.
Joolingen, V. W. 1999. “Cognitive Tools for Discovery learning”. International Journal of Artificial Intelligence in Education, Volume 10. Hal 385-397.
Syah, M. 2013. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru (Edisi Reevisi). Bandung: Rosdakarya.
Kennedy,L.M. Tipps Steve. 1994. Guiding Children’s Learning of Mathematics. : Wadswarsh Publishing Company.
Khoiri, Miftahul. 2014. Pemahaman Siswa Pada Konsep Segiempat Berdasarkan
Teori van Hiele
. Prosiding Seminar Nasional Matematika, Universitas Jember.
Krulik, Stephen & Rudnick, Jesse A. 1995. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Needham Heights:Allyn & Bacon.
Kusumah, Yaya S. 2003. Desain dan Pengemangan Bahan Ajaer Matematika Interaktif Berbasiskan Teknologi Komputer. Makalah pada seminar Proceeding National Seminar on Scient and Math Education, Bandung.
Muliawati, Eni. 2000. Pengembangan Tugas kinerjaGeometri Dalam Rangka Pelaksanaan Model Kooperatif Tipe STAD di SLTP. Tesis. Program Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Surabaya.
NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standars for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Polya, George. 1985. How To Solve It 2nd ed. New Jersey : Princeton University Press
Suherman, Erman. 2001. Common Text Book Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : UPI- JICA.
Ruseffendi, E.T. (1985). Pengajaran Matematika Moderen untuk Orang Tua Murid, Guru dan SPG, buku 6. Bandung: Tarsito.
Sumarmo, U, Dedy, E dan Rahmat. 1994. Suatu Alternatif Pengajaran untuk Meningkatkan Pemecahan Masalah Matematika pada Guru dan Siswa SMA. Laporan Hasil Penelitian FPMIPA IKIP Bandung
Van de Walle, J. A. 1994. Elementary School Mathematics: Teaching Devolementally (2 nd Edition). New York : Longman.


0 komentar:

Posting Komentar