Laman

Senin, 21 September 2015

Tak Mungkin Sesuai, Setidaknya "Berusaha" agar Sesuai dengan Ruang dan Waktu

Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-2
oleh: Ayu Arfiana

 
Hari selasa pukul 11.10 sampai 12.50, waktu dimana perkuliahan filsafat ilmu dijadwalkan untuk kelas A program studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana(PPs) UNY angkatan 2015. Bertempat di gedung lama PPs UNY ruang R.305b, Prof. Dr. Marsigit, M.A memulai perkuliahan Filsafat Ilmu pertemuan ke-2.



Bapak Marsigit menyampaikan bahwa orang belajar secara filsafat pada hakekatnya mengadakan yang “mungkin ada” menjadi “ada”. “Mungkin ada” itu dilihat dari konteks pembicaraan. “Ada” bagi saya belum tentu “ada” bagi yang lain, dan “ada” bagi yang lain belum tentu “ada” bagi saya. Sesuatu yang “mungkin ada” jumlahnya bermilyar-milyar dipangkatkan semilyar, namun sebanyak itu pun tak cukup kita menyebutkan sesuatu yang “mungkin ada”. Jadi manusia itu ‘kecil’ sekali, tak ada daya dan upaya yang dapat disombongkan, apalagi merasa sudah tahu semuanya. Bilamana kita diberikan anugerah mengetahui semuanya maka kita tak bisa hidup, karena justru kehidupan adalah manusia yang tidak sempurna. Oleh karena itu manusia dikaruniakan keterbatasan oleh Tuhan.

Kita sebagai manusia biasa tak bisa lepas dari orang tua, maka tugas kita adalah berbakti kepada orang tua. Menurut Bapak Marsigit, jika kita ingin berbakti kepada orang tua maka pikirkan orang tua kita. Karena sebenar-benar orang tua kita adalah ada dipikiran kita, dan hal tersebut baru lah urusan dunia. Jika kita ingin setingkat lebih tinggi dari itu, yaitu spiritual atau urusan akhirat. Maka orang tua kita ada di hati kita. Bahasa analog dari hati adalah doa, maka perwujudan dari bakti kita kepada orang tua adalah mendoakan orang tua kita.

Menurut Bapak Marsigit, problem filsafat ada dua macam, yaitu (1) Jika dia diluar pikiranmu, yang menjadi masalah adalah bagaimana kau mengertinya, (2) Jika dia yg kau pikirkan ada dipikiranmu, yang menjadi masalah adalah bagaimana kau bisa menjelaskannya. Jika kau mampu menjelaskan dengan sempurna maka kau sudah tak hidup lagi. Karena manusia tak akan pernah mencapai kesempuraan dalam menjelaskan, bahkan manusia pun tak pernah bisa menyebut semua karakter/sifat dalam dirinya. 

Objek filsafat adalah semua yang ada dan mungkin ada. Sedangkan alat yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog. Bahasa analog itu lebih lembut daripada kiasan, jika yang dimaksudkan adalah hati maka bisa juga berarti doa,  ketuhanan atau spiritualitas, atau akhirat. Jadi jarak antara pikiran dan hati adalah jarak antara dunia dan akhirat. Sementara itu, cara mempelajari filsafat adalah dengan metode hidup. Metode hidup artinya terdapat interaksi di dalamnya, metode yang sunatullah secara kodrati ciptaan Tuhan. Kalau kita belajar matematika dengan metode hidup, tak akan ada siswa stres dalam belajar matematika. Belajar tanpa harus ada pukulan dan kekerasan, dengan begitu siswa belajar tanpa menyadarinya dan dengan kesadarannya meraka bisa memahami pelajaran tanpa ada kegoncangan.Sehingga ketika menjadi guru, kita diharapkan dapat menerapkan metode hidup ini, kita tidak perlu menuntut siswa untuk menjadi pintar sesuai dengan kemauan kita. Kita tidak perlu membentuk siswa menjadi seperti yang kita inginkan dengan cara yang kurang ladzim. Namun berusaha lah menjadi guru yang mendidik dan membimbing dengan cara yang berkelas, tidak menggunakan kekerasan dalam membentuk kepribadian siswa.

Dalam perkuliahan tersebut, terdapat pertanyaan dari Saudari Fitri, dia menanyakan kepadad Bapak Marsigit, “Filsafat itu mempelajari yang mungkin ada menjadi ada, lalu yang sudah ada menjadi apa? Apakah menjadi lupa?”. Lalu Bapak Marsigit menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beliau, jika apa yang ada diketahui lalu lupa, itu artinya kita harus bersyukur karena kita dianugerahi sifat lupa karena itu bagian dari keterbasan manusia. Masalah ingatan itu letaknya di dalam atau di luar pikiran kita, jika lupa maka apa yang kita ingat bergeser di luar pikiran kita.

Bapak Marsigit menjelaskan mengenai aliran filsafat realis dan idealis. Realis murni mempercayai bahwa sesuatu yang tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar, tidak bisa disentuh maka disebut tidak ada. Tokoh yang menganut aliran ini adalah Aristoteles. Sedangkan aliran Idealis menganggap sesuatu yang ada itu tidak harus dapat dilihat, didengar, atau disentuh, namun cukup hanya dalam pikiran. Jika ada di dalam pikiran maka itu sudah dapat disebut ada. Tokoh yang menganut aliran ini yaitu Plato.

Jika kita mengikuti Plato, maka orang tua kita selalu bersama kita, karena jika orang tua ada dipikiran kita maka itu sudah bisa dikatakan bahwa orang tua ada bersama kita.  Namun jika kita pengikut Aristoteles maka kita disebut selalu terpisah dari orang tua kita. Hidup itu tidak hanya mengikuti satu tokoh, tapi kita bergantian mengikuti dari satu tokoh ke tokoh yang lain, sesekali mengikuti Aristoteles, sesekali mengikuti Plato. Karena mengikuti Plato saja tidak cukup, mengikuti Aristoteles saja pun  tidak cukup, oleh karena itu perlu adanya interaksi dari keduanya. 

Immanuel Kant mendamaikan Plato dan Aristoteles, sehingga Immanuel Kant menjadi tokoh sentral. Plato mempunyai pengikut Rene Descartes menjadi aliran rasionalisme. Aristoteles mempunyai pengikut Devisium menjadi aliran idealisme. Sesungguhnya sebenar-benar ilmu adalah sintetik a priori. Sintetik adalah hukum sebab kibat dari Aristoteles, sedangkan a priori bersumber dari logika Plato. Jadi sintetik apriori merupakan gabungan dari dua aliran tersebut. Sehingga sebenar-benarnya ilmu harus lah dari pengalaman yang dipikirkan, dan pikiran yang diterapkan dan diwujudkan dalam bentuk tesis. Sebenar-benar tesis adalah ilmu maka jika kita membuat tesis, referensi berfungsi sebagai pikiran yang digunakan untuk mencari data empiris dan data empiris harus dapat menjelaskan supaya dapat dijadikan referensi.

Dalam perkuliahan ini, Bapak Marsigit menjelaskan prinsip hidup menurut pandangan Immanuel Kant ada dua, yaitu:
1.      Kontradiksi
       Dalam prinsip ini, predikat tidak sama dengan subjeknya. Misalnya: rambut hitam. Sampai kapan pun “hitam” tak akan pernah sama dengan “rambut”. Karena “hitam” adalah predikat dari “rambut”, dan “rambut” berkedudukan sebagai subjek. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia tak akan pernah bisa sama dengan nama, karena hanya Tuhan saja yang bisa sama dengan sama.
2.       Identitas
     Jika dalam matematika A=A, namun dalam filsafat A≠A. Itulah salahsatu perbedaan antara matematika dan filsafat. Hal yang membedakan adalah terkait ruang dan waktu.
Prinsip-prinsip tersebut harus selalu ada, jika hanya ada hukum identitas saja maka tidak ada ilmu baru yang akan kita dapatkan dalam hidup. Sehingga keduanya harus ada dalam hidup kita.

Menurut Bapak Marsigit, secara filsafat Matematika hanya terdiri dari dua hal saja, yaitu aritmatika dan geometri, selain itu adalah interaksi atau gabungan dari aritmatika dan geometri. Aritmatika adalah waktu, sedangkan geometri adalah ruang.Matematika murni ini termasuk Platonisme, tidak perlu ada di dunia ini, cukup ada di pikiran saja. Jadi matematika hanya logika, logika itu tautologi, sedangkan tautologi adalah identitas. Telah disebutkan di bagian awal, bahwa hukum identitas saja tidak cukup, karena harus disertai kontradiksi. Karena jika hanya ada hukum identitas maka tidak ada ilmu baru. Jika dipandang dari kacamata filsafat, matematika murni diancam karena bukan lah sebenar-benarnya ilmu karena matematika murni hanya berpaku pada logika saja.

Perkuliahan filsafat ilmu pertemuan ke-2 ditutup dari pertanyaan dari Saudara Ricky, dia menanyakan, “jika salah bisa menjadi benar, apakah sebaliknya, benar juga dapat menjadi salah. Apakah dalam filsafat harus selalu benar?”. Kemudian Bapak Marsigit menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beliau, salah dan benar bukan istilah filsafat, namun istilah psikologi, orang awam, dan istilah pendidikan. Benar dalam filsafat adalah sesuai dengan ruang dan waktu, sedangkan tidak benar adalah jika tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Banyak sekali sesuatu yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu, namun manusia tidak akan pernah bisa mencapai keinginan untuk sama dengan ruang dan waktu. Maka dari itu, sebenar-benar perjuangan manusia dalam hidup adalah berusaha agar sesuai dengan ruang dan waktu. Walau manusia tak akan pernah sama dengan ruang dan waktu, namun setidaknya berusaha dengan sungguh-sungguh menuju jalan yang sesuai dengan ruang dan waktu. Aamiin. Semoga bermanfaat.

1 komentar: