Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-2
oleh: Ayu Arfiana
oleh: Ayu Arfiana
Hari selasa
pukul 11.10 sampai 12.50, waktu dimana perkuliahan filsafat ilmu dijadwalkan
untuk kelas A program studi Pendidikan Matematika Program Pascasarjana(PPs) UNY
angkatan 2015. Bertempat di gedung lama PPs UNY ruang R.305b, Prof. Dr.
Marsigit, M.A memulai perkuliahan Filsafat Ilmu pertemuan ke-2.
Bapak Marsigit menyampaikan bahwa orang belajar secara filsafat pada hakekatnya mengadakan yang “mungkin ada” menjadi “ada”. “Mungkin ada” itu dilihat dari konteks pembicaraan. “Ada” bagi saya belum tentu “ada” bagi yang lain, dan “ada” bagi yang lain belum tentu “ada” bagi saya. Sesuatu yang “mungkin ada” jumlahnya bermilyar-milyar dipangkatkan semilyar, namun sebanyak itu pun tak cukup kita menyebutkan sesuatu yang “mungkin ada”. Jadi manusia itu ‘kecil’ sekali, tak ada daya dan upaya yang dapat disombongkan, apalagi merasa sudah tahu semuanya. Bilamana kita diberikan anugerah mengetahui semuanya maka kita tak bisa hidup, karena justru kehidupan adalah manusia yang tidak sempurna. Oleh karena itu manusia dikaruniakan keterbatasan oleh Tuhan.
Kita sebagai manusia biasa tak bisa lepas dari orang tua, maka tugas kita adalah berbakti kepada orang tua. Menurut Bapak Marsigit, jika kita ingin berbakti kepada orang tua maka pikirkan orang tua kita. Karena sebenar-benar orang tua kita adalah ada dipikiran kita, dan hal tersebut baru lah urusan dunia. Jika kita ingin setingkat lebih tinggi dari itu, yaitu spiritual atau urusan akhirat. Maka orang tua kita ada di hati kita. Bahasa analog dari hati adalah doa, maka perwujudan dari bakti kita kepada orang tua adalah mendoakan orang tua kita.
Bapak Marsigit menyampaikan bahwa orang belajar secara filsafat pada hakekatnya mengadakan yang “mungkin ada” menjadi “ada”. “Mungkin ada” itu dilihat dari konteks pembicaraan. “Ada” bagi saya belum tentu “ada” bagi yang lain, dan “ada” bagi yang lain belum tentu “ada” bagi saya. Sesuatu yang “mungkin ada” jumlahnya bermilyar-milyar dipangkatkan semilyar, namun sebanyak itu pun tak cukup kita menyebutkan sesuatu yang “mungkin ada”. Jadi manusia itu ‘kecil’ sekali, tak ada daya dan upaya yang dapat disombongkan, apalagi merasa sudah tahu semuanya. Bilamana kita diberikan anugerah mengetahui semuanya maka kita tak bisa hidup, karena justru kehidupan adalah manusia yang tidak sempurna. Oleh karena itu manusia dikaruniakan keterbatasan oleh Tuhan.
Kita sebagai manusia biasa tak bisa lepas dari orang tua, maka tugas kita adalah berbakti kepada orang tua. Menurut Bapak Marsigit, jika kita ingin berbakti kepada orang tua maka pikirkan orang tua kita. Karena sebenar-benar orang tua kita adalah ada dipikiran kita, dan hal tersebut baru lah urusan dunia. Jika kita ingin setingkat lebih tinggi dari itu, yaitu spiritual atau urusan akhirat. Maka orang tua kita ada di hati kita. Bahasa analog dari hati adalah doa, maka perwujudan dari bakti kita kepada orang tua adalah mendoakan orang tua kita.
Menurut Bapak
Marsigit, problem filsafat ada dua macam, yaitu (1) Jika dia diluar pikiranmu,
yang menjadi masalah adalah bagaimana kau mengertinya, (2) Jika dia yg kau
pikirkan ada dipikiranmu, yang menjadi masalah adalah bagaimana kau bisa
menjelaskannya. Jika kau mampu menjelaskan dengan sempurna maka kau sudah tak
hidup lagi. Karena manusia tak akan pernah mencapai kesempuraan dalam
menjelaskan, bahkan manusia pun tak pernah bisa menyebut semua karakter/sifat
dalam dirinya.
Objek filsafat adalah semua yang ada dan mungkin ada. Sedangkan alat yang digunakan dalam berfilsafat adalah bahasa analog. Bahasa analog itu lebih lembut daripada kiasan, jika yang dimaksudkan adalah hati maka bisa juga berarti doa, ketuhanan atau spiritualitas, atau akhirat. Jadi jarak antara pikiran dan hati adalah jarak antara dunia dan akhirat. Sementara itu, cara mempelajari filsafat adalah dengan metode hidup. Metode hidup artinya terdapat interaksi di dalamnya, metode yang sunatullah secara kodrati ciptaan Tuhan. Kalau kita belajar matematika dengan metode hidup, tak akan ada siswa stres dalam belajar matematika. Belajar tanpa harus ada pukulan dan kekerasan, dengan begitu siswa belajar tanpa menyadarinya dan dengan kesadarannya meraka bisa memahami pelajaran tanpa ada kegoncangan.Sehingga ketika menjadi guru, kita diharapkan dapat menerapkan metode hidup ini, kita tidak perlu menuntut siswa untuk menjadi pintar sesuai dengan kemauan kita. Kita tidak perlu membentuk siswa menjadi seperti yang kita inginkan dengan cara yang kurang ladzim. Namun berusaha lah menjadi guru yang mendidik dan membimbing dengan cara yang berkelas, tidak menggunakan kekerasan dalam membentuk kepribadian siswa.
Dalam
perkuliahan tersebut, terdapat pertanyaan dari Saudari Fitri, dia menanyakan
kepadad Bapak Marsigit, “Filsafat itu mempelajari yang mungkin ada menjadi ada,
lalu yang sudah ada menjadi apa? Apakah menjadi lupa?”. Lalu Bapak Marsigit
menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beliau, jika apa yang ada diketahui lalu
lupa, itu artinya kita harus bersyukur karena kita dianugerahi sifat lupa karena
itu bagian dari keterbasan manusia. Masalah ingatan itu letaknya di dalam atau
di luar pikiran kita, jika lupa maka apa yang kita ingat bergeser di luar
pikiran kita.
Bapak Marsigit
menjelaskan mengenai aliran filsafat realis dan idealis. Realis murni
mempercayai bahwa sesuatu yang tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar, tidak
bisa disentuh maka disebut tidak ada. Tokoh yang menganut aliran ini adalah
Aristoteles. Sedangkan aliran Idealis menganggap sesuatu yang ada itu tidak
harus dapat dilihat, didengar, atau disentuh, namun cukup hanya dalam pikiran.
Jika ada di dalam pikiran maka itu sudah dapat disebut ada. Tokoh yang menganut
aliran ini yaitu Plato.
Jika kita
mengikuti Plato, maka orang tua kita selalu bersama kita, karena jika orang tua
ada dipikiran kita maka itu sudah bisa dikatakan bahwa orang tua ada bersama
kita. Namun jika kita pengikut
Aristoteles maka kita disebut selalu terpisah dari orang tua kita. Hidup itu
tidak hanya mengikuti satu tokoh, tapi kita bergantian mengikuti dari satu
tokoh ke tokoh yang lain, sesekali mengikuti Aristoteles, sesekali mengikuti
Plato. Karena mengikuti Plato saja tidak cukup, mengikuti Aristoteles saja
pun tidak cukup, oleh karena itu perlu
adanya interaksi dari keduanya.
Immanuel Kant
mendamaikan Plato dan Aristoteles, sehingga Immanuel Kant menjadi tokoh
sentral. Plato mempunyai pengikut Rene Descartes menjadi aliran rasionalisme. Aristoteles
mempunyai pengikut Devisium menjadi aliran idealisme. Sesungguhnya sebenar-benar
ilmu adalah sintetik a priori. Sintetik adalah hukum sebab kibat dari Aristoteles,
sedangkan a priori bersumber dari logika Plato. Jadi sintetik apriori merupakan
gabungan dari dua aliran tersebut. Sehingga sebenar-benarnya ilmu harus lah
dari pengalaman yang dipikirkan, dan pikiran yang diterapkan dan diwujudkan
dalam bentuk tesis. Sebenar-benar tesis adalah ilmu maka jika kita membuat
tesis, referensi berfungsi sebagai pikiran yang digunakan untuk mencari data
empiris dan data empiris harus dapat menjelaskan supaya dapat dijadikan
referensi.
Dalam
perkuliahan ini, Bapak Marsigit menjelaskan prinsip hidup menurut pandangan
Immanuel Kant ada dua, yaitu:
1. Kontradiksi
Dalam prinsip
ini, predikat tidak sama dengan subjeknya. Misalnya: rambut hitam. Sampai kapan
pun “hitam” tak akan pernah sama dengan “rambut”. Karena “hitam” adalah
predikat dari “rambut”, dan “rambut” berkedudukan sebagai subjek. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa manusia tak akan pernah bisa sama dengan nama, karena
hanya Tuhan saja yang bisa sama dengan sama.
2. Identitas
Jika dalam
matematika A=A, namun dalam filsafat A≠A. Itulah salahsatu perbedaan antara
matematika dan filsafat. Hal yang membedakan adalah terkait ruang dan waktu.
Prinsip-prinsip tersebut harus
selalu ada, jika hanya ada hukum identitas saja maka tidak ada ilmu baru yang
akan kita dapatkan dalam hidup. Sehingga keduanya harus ada dalam hidup kita.
Menurut Bapak
Marsigit, secara filsafat Matematika hanya terdiri dari dua hal saja, yaitu aritmatika
dan geometri, selain itu adalah interaksi atau gabungan dari aritmatika dan
geometri. Aritmatika adalah waktu, sedangkan geometri adalah ruang.Matematika murni
ini termasuk Platonisme, tidak perlu ada di dunia ini, cukup ada di pikiran saja.
Jadi matematika hanya logika, logika itu tautologi, sedangkan tautologi adalah identitas.
Telah disebutkan di bagian awal, bahwa hukum identitas saja tidak cukup, karena
harus disertai kontradiksi. Karena jika hanya ada hukum identitas maka tidak
ada ilmu baru. Jika dipandang dari kacamata filsafat, matematika murni diancam karena
bukan lah sebenar-benarnya ilmu karena matematika murni hanya berpaku pada logika saja.
Perkuliahan filsafat ilmu pertemuan ke-2 ditutup dari pertanyaan dari Saudara Ricky, dia menanyakan, “jika salah bisa menjadi benar, apakah sebaliknya, benar juga dapat menjadi salah. Apakah dalam filsafat harus selalu benar?”. Kemudian Bapak Marsigit menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beliau, salah dan benar bukan istilah filsafat, namun istilah psikologi, orang awam, dan istilah pendidikan. Benar dalam filsafat adalah sesuai dengan ruang dan waktu, sedangkan tidak benar adalah jika tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Banyak sekali sesuatu yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu, namun manusia tidak akan pernah bisa mencapai keinginan untuk sama dengan ruang dan waktu. Maka dari itu, sebenar-benar perjuangan manusia dalam hidup adalah berusaha agar sesuai dengan ruang dan waktu. Walau manusia tak akan pernah sama dengan ruang dan waktu, namun setidaknya berusaha dengan sungguh-sungguh menuju jalan yang sesuai dengan ruang dan waktu. Aamiin. Semoga bermanfaat.
Perkuliahan filsafat ilmu pertemuan ke-2 ditutup dari pertanyaan dari Saudara Ricky, dia menanyakan, “jika salah bisa menjadi benar, apakah sebaliknya, benar juga dapat menjadi salah. Apakah dalam filsafat harus selalu benar?”. Kemudian Bapak Marsigit menjawab pertanyaan tersebut. Menurut beliau, salah dan benar bukan istilah filsafat, namun istilah psikologi, orang awam, dan istilah pendidikan. Benar dalam filsafat adalah sesuai dengan ruang dan waktu, sedangkan tidak benar adalah jika tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Banyak sekali sesuatu yang tidak sesuai dengan ruang dan waktu, namun manusia tidak akan pernah bisa mencapai keinginan untuk sama dengan ruang dan waktu. Maka dari itu, sebenar-benar perjuangan manusia dalam hidup adalah berusaha agar sesuai dengan ruang dan waktu. Walau manusia tak akan pernah sama dengan ruang dan waktu, namun setidaknya berusaha dengan sungguh-sungguh menuju jalan yang sesuai dengan ruang dan waktu. Aamiin. Semoga bermanfaat.
Good Reflection
BalasHapus