Laman

Jumat, 11 Desember 2015

Serba-Serbi Riset Kuantitatif dan Kualitatif



Tulisan berikut ini merupakan refleksi dari perkuliahan Metodologi Penelitian Pendidikan di kelas A Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2015 yang diampu oleh Dr. Heri Retnawati pada tanggal 8 Desember 2015. Dalam penyusunan tulisan ini didasarkan dari hasil perkuliahan dan dilengkapi dengan informasi yang mendukung menyangkut pembahasan riset kuantitatif dan kualitatif.

Riset Kuantitatif
Dalam pendekatan kuantitatif, jika peneliti sudah mempunyai proposal dan instrimen, maka itu dianggap bahwa peneliti telah melakukan sebesar 50% lebih dari proses penelitian. Namun hal ini berbeda dengan pendekatan kualitatif, jika peneliti sudah mempunyai proposal dan instrument, maka itu dianggap belum apa-apa. Hal ini dikarenakan dalam pendekatan kualitatif, hal yang terberat adalah menuliskan dan menerjemahkan data.
Setelah membuat proposal dan instrument, langkah yang dilakukan adalah membuktikan validitas dan mengestimasi realibilitas instrumen. Ketika membuktikan validitas, yaitu pada validitas isi kita dapat menggunakan pendapat ahli, kemudian meminta ahli untuk menilai, dari penilai tersebut kita dapat membuat indeks aiken, trigory, clause, dan sebagainya. Namun yang paling popular adalah indeks aiken dikarenakan relatif lebih mudah. Sedangkan dalam pembuktian validitas konstruk yaitu analisis faktor ekploratori dan analis faktor aikon konfirmatori. Syarat minimal dalam pengerjaan tesis bagi kita mahasiswa S2, kita perlu membuktikan validitas konstruk dengan indeks ikon dan analisis faktor eksploratori. Namun untuk S3 dalam pengerjaan disertasi wajib membuktikan validitas konstruk dengan indeks Aiken dan analisis faktor konfirmatori. Kita perlu menemui ahli dahulu agar bisa mengestimasi dengan indeks aikon, namun harus memilih ahli yang benar-benar kompeten. Kita tidak boleh hanya meminta teman guru karena sudah mengenalnya. Jika kita memilih dosen, maka dosen tersebut harus sudah divalidasi, sementara jika kita memilih guru maka harus lah guru yang jam terbangnya tinggi dan mempunyai kinerja yang baik.
Jika instrument telah terbukti valid, maka langkah selanjutnya adalah menguji cobakan instrument. Uji coba yang dilakukan kepada anggota populasi yang tidak ditetepkan sebagai sampel. Jadi tidak boleh uji coba dilakukan kepada anggota sampel. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya perubahan instrument jika ditemukan hasil setelah ujicoba bahwa instrument tersebut tidak baik. Setelah dilakukan uji coba, kemudian langkah selanjutnya dari uji coba tersebut kita gunakan untuk analisis eksploratori dan mengetimasi realibilitas.
Ketika kita melakukan uji coba, perlu memperhatikan ukuran sampel (responden) yang digunakan dalam proses ujicoba. Hal ini dilakukan agar analisis butir dari proses uji coba dapat menghasilkan data yang stabil. Selain itu sangat dibutuhkan dalam analisis faktor ketika melakukan uji kecukupan sampel. Nunnally (1970: 214-215) menjelaskan bahwa ukuran sampel dalam proses uji coba instrument adalah sebesar sepuluh kali jumlah butir soal. Sehingga jika terdapat 15 butir soal yang akan diuji cobakan, maka diperlukan 10 x 15 = 150 sampel. Namun, apabila uji coba insrumen akan melibatkan banyak sampel, maka minimal ukuran sampel dalam uji coba adalah lima kali jumlah butir soal. Jadi, ketika akan menguji instrument sebanyak 100 butir, minimal diperlukan 5 x 100 = 500 sampel.
Salah satu manfaat dari analisis faktor adalah mengklasifikasi ulang menjadi indikator-indikator baru untuk mengukur konstruknya. Jadi jika instrument belum valid, maka perlu dilakukan perbaikan. Kalau sudah valid kemudian dirakit dengan ditulis butir-butir, kop, identitas responden,dll. Langkah selanjutnya adalah menyusun butir-butir dari butir yang mudah kemudian disusul dengan butir-butir yang sulit. Hal ini dilakukan untuk menjaga psikologi siswa dan menghindari siswa hanya terfokus pada butir awal saja karena butir di awal sulit. Kaitannya dengan instrument, kalau misal dalam tes dalam rangka mengisi instrument atau UAS, dsb, hendaknya siswa diberikan pengawasan. Hal ini untuk menghindari siswa menyontek agar kita tidak kesulitan mengklasifikasikan atau membedakan mana siswa yang unggul dan kurang.  
Indentitas responden dapat diperlukan atau pun tidak diperlukan. Misal kita akan melakukan penelitian kesulitan guru dalam menuliskan karya ilmiah. Kemudian kita potret atau melakukan survei satu kabupaten. Kemudian dari survey tersebut ada identitas dari guru yang mudah menghasilkan karya imiah dan ada pula identitas dari guru yang sulit dalam menghasilkan karya ilmu. Dari situ lah kita dapat menandai mana guru yang aktif menghasilkan karya dan guru yang kesulitan menghasilkan karya. Guru-guru tersebut diwawancara, jika terhadap guru yang aktif maka diwawancarai mengapa begitu aktif dan mudah menghasilkan karya ilmiah. Sementara itu, terhadap guru-guru yang sulit menghasilkan karya ilmiah pun diwawancarai apa saja kesulitan yang dihadapi dalam penulisan karya ilmiah. Sama halnya ketika kita memotret kesulitan siswa dalam menghadapi ujian nasional (UN). Kemudian kita mewancarai dari siswa yang siap sekali menghadapi UN, siswa yang sedang-sedang saja, dan siswa yang merasa belum siap menghadapi UN. Sehingga dalam kasus tersebut kita perlu mengetahui identitas siswa, mana yang siswa yang siap, sedang, dan kurang dalam menghadapi UN. Tetapi jika kita hanya melakukan survey tanpa adanya studi kasus, maka identitas tidak diperlukan. Contoh lain jika kita mengetahui pendapat masyarakat terkait hutang pemerintah. Kemudian diperoleh pendapat responden yang pro dan kontra. Dengan begitu, kita tak perlu menyantumkan identitas responden karena akan membahayakan bagi responden yang kontra terhadap kasus tersebut. Sehingga kita sebagai peneliti, harus pandai-pandai kapan kita perlu menyantumkan identitas responden dan kapan kita tak perlu menyantumkan responden.
Ketika instrument sudah siap semua, kemudian langkah selanjutnya adalah perihal perijinan. Suatu penelitian jika dilakukan di sekolah terdapat dua kemungkinan, yaitu bisa saja diijinkan, namun bisa juga tidak diijinkan. Apalagi jika kaitannya dengan data dari sampel yang hendak melakukan UN, misalnya kelas VI, IX, dan XII. Oleh karena itu kita perlu melakukan strategi agar kita diijinkan melakukan penelitian. Misal akan memotret kesulitan siswa ketika menghadapi UN. Lalu kita mengadakan try-out terlebih dahulu yang dilakukan se-kabupaten dengan melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah menggunakan soal yang kita susun. Kita yang membuat soal, mengoreksi, dan memperoleh data, dengan begitu kita menadapat keuntungan, mereka pun mendapat keuntungan karena tak perlu membuat soal dan mengoreksi. Sehingga penelitian tidak hanya memberikan keuntungan untuk peneliti sajam, namun orang lain juga memperoleh keuntungan. Tetapi untuk melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah biasanya harus ada perijinan penelitian. Hal ini menjadi kendala bagi peneliti. Misal kita akan melaksanakan penelitian harus meminta perijinan dinas provinsi, maka hal ini akan memakan waktu yang tak sebentar karena harus menunggu beberapa waktu agar memperoleh perijinan. Tetapi jika sekolah yang diajak untuk kerjasama tidak mempermasalah perijinan resmi dari pemerintah, maka kita dapat memperoleh perijinan dengan mudah.
Dalam penelitian kuantitatif, setelah kita telah mendapatkan perijinan kemudian kita memasuki sekolah yang akan diteliti. Selama penelitian, kita perlu menjaga diri, dimana kita menjaga kesopanan dan kerapinan untuk menunjukkan bahwa kita ‘keren’. Hal ini seperti pepatah jawa yang menyatakan bahwa ajining dhiri gumantung ono ing lathi, ajining raga gumantung ing busono, ajining awak gumantung ing tumindak, yang berarti harga diri seseorang tergantung apa yang diucapkan, harga diri dilihat dari cara berbusana, harga diri tergantung apa yang dilakukan. Berkaitan dengan ajining dhiri gumantung ono ing lathi maka ketika kita bekerja di sekolah dengan sebaik-baiknya, diharapkan kita harus lebih ramah dibandingkan dengan pihak sekolah. Sementara itu, terkait ajining raga gumantung ing busono ajining, kita hendaknya menggunakan pakaian yang sopan dan rapi, serta menyesuaikan pakaian yang kita gunakan dengan apa yang diterapkan di sekolah tersebut. Ajining awak gumantung ing tumindak maka lakukan hal-hal yang bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya. Kita ketika melakukan penelitian jangan sampai tergoda seumpama diajak guru-guru untuk merokok, dll. Berkaitan dengan karakter, ketika kita hendak masuk pada side riset, maka kita harus berbicara dengan sopan. Hendaknya kita menghindari berbicara secara langsung bahwa kita akan mengadakan riset, cobalah untuk menawarkan kerjasama bila perlu melakukan pelatihan dengan guru. Dengan demikian, kemungkinan kita diterima di sekolah tersebut untuk sekolah begitu besar.
Setelah kita sudah memperoleh data yang diperlukan, langkah selanjutnya adalah mengentry dan menganalisis data. Dalam mengentry memerlukan waktu lama dan ketelitian kita. Misal kita mengentry angket, kita harus fokus dan teliti dalam proses mengentry agar tidak terjadi kekeliruan. Terkadang kita lupa dalam proses mengentry data, maka hendaknya kita mencatatnya agar tidak lupa. Berkaitan dengan menganalisis data, hendaknya menempatkan file pada folder yang mudah diingat dan tidak terlalu dalam agar tidak susah mencari file

Riset Kualitatif
Dalam riset kualitatif, ketika kita hendak masuk ke dalam objek penelitian akan lebih susah dibandingkan pada riset kuantitatif. Kadang kita tidak perlu ijin, namun kita perlu menyeting natural. Misal kita hendak meneliti seseorang, maka bagaimana caranya agar kita dapat masuk dalam lingkungan tersebut tidak dicurigai dan orang yang kita teliti tidak merasa diikuti oleh kita. Jadi kata kunci dalam riset kualitatif adalah kepercayaan. Bagaimana responden membuat kita percaya bahwa kita bukan peneliti, namun kita adalah bagian dari mereka (partisipatif).
Data yang diambil dalam riset kualitatif dikumpulkan berulang-ulang, tidak hanya sekali. Istilah dalam riset kualitatif adalah multi-treat multy-metter (berbagai cara, berbagai metode). Pertama mungkin kita mengamati responden sendiri, namun tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Kita juga dapat melakukan interview kepada teman dari responden. Selain itu juga kita juga dapat mengambil data dengan merekam, namun harus ijin terlebih dahulu karena ada undang-undangnya. Setelah kita mengamati, melakukan interview,dl, kita harus membuat catatan lapangan (field note). Strategi agar kita tidak lupa, jika pagi hingga sore kita mengamati, maka malam hari kita membuat catatan lapangan. Kita terus menurus melakukan hal tersebut hingga data jenuh. Terkadang data yang diamati 2 bulan sudah jenuh. Ada juga data yang diamati 2 tahun belum jenuh juga. Jadi jenuhnya data tidak dapat dipastikan seberapa lamanya, karena tergantung dengan berbagai faktor.
Catatan lapangan yang telah kita buat kemudian direduksi. Dalam proses mereduksi terdapat berbagai cara, kita dapat mereduksi dengan cara Bogdan and Bliken, Creswell, Milles and Huberman atau pun cara lainnya. Meskipun caranya berbeda-beda dengan berbagai penulis, namun intinya adalah dari catatan lapangan yang telah kita buat kemudian data direduksi dan dianalisis serta diverifikasi atau disimpulkan. Dari penyimpulan tersebut kita memperoleh pemetaan.
Baik riset kuantitatif dan kualitatif, yang berat adalah melaporkan. Karena kita sudah tahu, jadi tidak ada tantangan lagi. Misal kita akan meneliti mana yang lebih baik antara saintifik dan PBL. Dari data-data yang dikumpulkan misal saintifik lebih baik dari PBL. Maka kita akan merasa sudah tahu dan tidak mau menuliskannya. Itu lah tantangan yang sering membuat kita lama dalam penelitian, kecuali jika kita telah menargetkan untuk cepat menyelesaikan laporan. Dalam penelitian memang membuat laporan adalah tantangan terberat karena sudah diperolehnya data, terkadang kita malas merekap data, dll. Oleh karena itu strategi yang dapat kita lakukan adalah mambuat taget, sehingga kita tidak santai-santai dalam menulis laporan.

Demikian pembahasan terkait serba-serbi riset kuantitatif dan kualitatif. Semoga bermanfaat bagi kita semua. :)


0 komentar:

Posting Komentar