Tulisan
berikut ini merupakan refleksi dari perkuliahan Metodologi Penelitian
Pendidikan di kelas A Pendidikan Matematika Program Pascasarjana Universitas
Negeri Yogyakarta angkatan 2015 yang diampu oleh Dr. Heri Retnawati pada
tanggal 8 Desember 2015. Dalam penyusunan tulisan ini didasarkan dari hasil
perkuliahan dan dilengkapi dengan informasi yang mendukung menyangkut
pembahasan riset kuantitatif dan
kualitatif.
Riset Kuantitatif
Dalam
pendekatan kuantitatif, jika peneliti sudah mempunyai proposal dan instrimen,
maka itu dianggap bahwa peneliti telah melakukan sebesar 50% lebih dari proses
penelitian. Namun hal ini berbeda dengan pendekatan kualitatif, jika peneliti
sudah mempunyai proposal dan instrument, maka itu dianggap belum apa-apa. Hal
ini dikarenakan dalam pendekatan kualitatif, hal yang terberat adalah
menuliskan dan menerjemahkan data.
Setelah
membuat proposal dan instrument, langkah yang dilakukan adalah membuktikan
validitas dan mengestimasi realibilitas instrumen. Ketika membuktikan
validitas, yaitu pada validitas isi kita dapat menggunakan pendapat ahli,
kemudian meminta ahli untuk menilai, dari penilai tersebut kita dapat membuat
indeks aiken, trigory, clause, dan
sebagainya. Namun yang paling popular adalah indeks aiken dikarenakan relatif lebih mudah. Sedangkan dalam pembuktian
validitas konstruk yaitu analisis faktor ekploratori dan analis faktor aikon
konfirmatori. Syarat minimal dalam pengerjaan tesis bagi kita mahasiswa S2,
kita perlu membuktikan validitas konstruk dengan indeks ikon dan analisis
faktor eksploratori. Namun untuk S3 dalam pengerjaan disertasi wajib
membuktikan validitas konstruk dengan indeks Aiken dan analisis faktor konfirmatori. Kita perlu menemui ahli
dahulu agar bisa mengestimasi dengan indeks aikon, namun harus memilih ahli
yang benar-benar kompeten. Kita tidak boleh hanya meminta teman guru karena
sudah mengenalnya. Jika kita memilih dosen, maka dosen tersebut harus sudah
divalidasi, sementara jika kita memilih guru maka harus lah guru yang jam
terbangnya tinggi dan mempunyai kinerja yang baik.
Jika
instrument telah terbukti valid, maka langkah selanjutnya adalah menguji
cobakan instrument. Uji coba yang dilakukan kepada anggota populasi yang tidak
ditetepkan sebagai sampel. Jadi tidak boleh uji coba dilakukan kepada anggota
sampel. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya perubahan instrument jika
ditemukan hasil setelah ujicoba bahwa instrument tersebut tidak baik. Setelah
dilakukan uji coba, kemudian langkah selanjutnya dari uji coba tersebut kita
gunakan untuk analisis eksploratori dan mengetimasi realibilitas.
Ketika
kita melakukan uji coba, perlu memperhatikan ukuran sampel (responden) yang
digunakan dalam proses ujicoba. Hal ini dilakukan agar analisis butir dari
proses uji coba dapat menghasilkan data yang stabil. Selain itu sangat
dibutuhkan dalam analisis faktor ketika melakukan uji kecukupan sampel. Nunnally
(1970: 214-215) menjelaskan bahwa ukuran sampel dalam proses uji coba
instrument adalah sebesar sepuluh kali jumlah butir soal. Sehingga jika
terdapat 15 butir soal yang akan diuji cobakan, maka diperlukan 10 x 15 = 150
sampel. Namun, apabila uji coba insrumen akan melibatkan banyak sampel, maka minimal
ukuran sampel dalam uji coba adalah lima kali jumlah butir soal. Jadi, ketika
akan menguji instrument sebanyak 100 butir, minimal diperlukan 5 x 100 = 500
sampel.
Salah
satu manfaat dari analisis faktor adalah mengklasifikasi ulang menjadi
indikator-indikator baru untuk mengukur konstruknya. Jadi jika instrument belum
valid, maka perlu dilakukan perbaikan. Kalau sudah valid kemudian dirakit
dengan ditulis butir-butir, kop, identitas responden,dll. Langkah selanjutnya
adalah menyusun butir-butir dari butir yang mudah kemudian disusul dengan
butir-butir yang sulit. Hal ini dilakukan untuk menjaga psikologi siswa dan
menghindari siswa hanya terfokus pada butir awal saja karena butir di awal
sulit. Kaitannya dengan instrument, kalau misal dalam tes dalam rangka mengisi instrument
atau UAS, dsb, hendaknya siswa diberikan pengawasan. Hal ini untuk menghindari
siswa menyontek agar kita tidak kesulitan mengklasifikasikan atau membedakan
mana siswa yang unggul dan kurang.
Indentitas
responden dapat diperlukan atau pun tidak diperlukan. Misal kita akan melakukan
penelitian kesulitan guru dalam menuliskan karya ilmiah. Kemudian kita potret
atau melakukan survei satu kabupaten. Kemudian dari survey tersebut ada
identitas dari guru yang mudah menghasilkan karya imiah dan ada pula identitas
dari guru yang sulit dalam menghasilkan karya ilmu. Dari situ lah kita dapat
menandai mana guru yang aktif menghasilkan karya dan guru yang kesulitan
menghasilkan karya. Guru-guru tersebut diwawancara, jika terhadap guru yang
aktif maka diwawancarai mengapa begitu aktif dan mudah menghasilkan karya
ilmiah. Sementara itu, terhadap guru-guru yang sulit menghasilkan karya ilmiah
pun diwawancarai apa saja kesulitan yang dihadapi dalam penulisan karya ilmiah.
Sama halnya ketika kita memotret kesulitan siswa dalam menghadapi ujian
nasional (UN). Kemudian kita mewancarai dari siswa yang siap sekali menghadapi
UN, siswa yang sedang-sedang saja, dan siswa yang merasa belum siap menghadapi
UN. Sehingga dalam kasus tersebut kita perlu mengetahui identitas siswa, mana
yang siswa yang siap, sedang, dan kurang dalam menghadapi UN. Tetapi jika kita
hanya melakukan survey tanpa adanya studi kasus, maka identitas tidak
diperlukan. Contoh lain jika kita mengetahui pendapat masyarakat terkait hutang
pemerintah. Kemudian diperoleh pendapat responden yang pro dan kontra. Dengan
begitu, kita tak perlu menyantumkan identitas responden karena akan
membahayakan bagi responden yang kontra terhadap kasus tersebut. Sehingga kita sebagai
peneliti, harus pandai-pandai kapan kita perlu menyantumkan identitas responden
dan kapan kita tak perlu menyantumkan responden.
Ketika
instrument sudah siap semua, kemudian langkah selanjutnya adalah perihal
perijinan. Suatu penelitian jika dilakukan di sekolah terdapat dua kemungkinan,
yaitu bisa saja diijinkan, namun bisa juga tidak diijinkan. Apalagi jika
kaitannya dengan data dari sampel yang hendak melakukan UN, misalnya kelas VI,
IX, dan XII. Oleh karena itu kita perlu melakukan strategi agar kita diijinkan
melakukan penelitian. Misal akan memotret kesulitan siswa ketika menghadapi UN.
Lalu kita mengadakan try-out terlebih
dahulu yang dilakukan se-kabupaten dengan melakukan kerjasama dengan
sekolah-sekolah menggunakan soal yang kita susun. Kita yang membuat soal,
mengoreksi, dan memperoleh data, dengan begitu kita menadapat keuntungan,
mereka pun mendapat keuntungan karena tak perlu membuat soal dan mengoreksi.
Sehingga penelitian tidak hanya memberikan keuntungan untuk peneliti sajam, namun
orang lain juga memperoleh keuntungan. Tetapi untuk melakukan kerjasama dengan
sekolah-sekolah biasanya harus ada perijinan penelitian. Hal ini menjadi
kendala bagi peneliti. Misal kita akan melaksanakan penelitian harus meminta
perijinan dinas provinsi, maka hal ini akan memakan waktu yang tak sebentar
karena harus menunggu beberapa waktu agar memperoleh perijinan. Tetapi jika
sekolah yang diajak untuk kerjasama tidak mempermasalah perijinan resmi dari
pemerintah, maka kita dapat memperoleh perijinan dengan mudah.
Dalam
penelitian kuantitatif, setelah kita telah mendapatkan perijinan kemudian kita
memasuki sekolah yang akan diteliti. Selama penelitian, kita perlu menjaga
diri, dimana kita menjaga kesopanan dan kerapinan untuk menunjukkan bahwa kita
‘keren’. Hal ini seperti pepatah jawa yang menyatakan bahwa ajining dhiri gumantung ono ing lathi,
ajining raga gumantung ing busono, ajining awak gumantung ing tumindak,
yang berarti harga diri seseorang tergantung apa yang diucapkan, harga diri
dilihat dari cara berbusana, harga diri tergantung apa yang dilakukan. Berkaitan dengan ajining dhiri gumantung ono ing lathi
maka ketika kita bekerja di sekolah dengan sebaik-baiknya, diharapkan kita
harus lebih ramah dibandingkan dengan pihak sekolah. Sementara itu, terkait ajining raga gumantung ing busono ajining,
kita hendaknya menggunakan pakaian yang sopan dan rapi, serta menyesuaikan
pakaian yang kita gunakan dengan apa yang diterapkan di sekolah tersebut. Ajining awak gumantung ing tumindak maka
lakukan hal-hal yang bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya. Kita ketika
melakukan penelitian jangan sampai tergoda seumpama diajak guru-guru untuk
merokok, dll. Berkaitan dengan karakter, ketika kita hendak
masuk pada side riset, maka kita harus berbicara dengan sopan. Hendaknya
kita menghindari berbicara secara langsung bahwa kita akan mengadakan riset,
cobalah untuk menawarkan kerjasama bila perlu melakukan pelatihan dengan guru.
Dengan demikian, kemungkinan kita diterima di sekolah tersebut untuk sekolah
begitu besar.
Setelah
kita sudah memperoleh data yang diperlukan, langkah selanjutnya adalah mengentry dan menganalisis data. Dalam mengentry memerlukan waktu lama dan
ketelitian kita. Misal kita mengentry angket,
kita harus fokus dan teliti dalam proses mengentry agar tidak terjadi kekeliruan. Terkadang kita lupa dalam
proses mengentry data, maka hendaknya
kita mencatatnya agar tidak lupa. Berkaitan dengan menganalisis data, hendaknya
menempatkan file pada folder yang
mudah diingat dan tidak terlalu dalam agar tidak susah mencari file.
Riset Kualitatif
Dalam
riset kualitatif, ketika kita hendak masuk
ke dalam objek penelitian akan lebih susah dibandingkan pada riset kuantitatif. Kadang kita tidak
perlu ijin, namun kita perlu menyeting natural. Misal kita hendak meneliti
seseorang, maka bagaimana caranya agar kita dapat masuk dalam lingkungan
tersebut tidak dicurigai dan orang yang kita teliti tidak merasa diikuti oleh
kita. Jadi kata kunci dalam riset kualitatif
adalah kepercayaan. Bagaimana responden membuat kita percaya bahwa kita bukan
peneliti, namun kita adalah bagian dari mereka (partisipatif).
Data
yang diambil dalam riset kualitatif
dikumpulkan berulang-ulang, tidak hanya sekali. Istilah dalam riset kualitatif adalah multi-treat multy-metter (berbagai cara,
berbagai metode). Pertama mungkin kita mengamati responden sendiri, namun tidak
hanya sekali, namun berkali-kali. Kita juga dapat melakukan interview kepada teman dari responden.
Selain itu juga kita juga dapat mengambil data dengan merekam, namun harus ijin
terlebih dahulu karena ada undang-undangnya. Setelah kita mengamati, melakukan interview,dl,
kita harus membuat catatan lapangan (field
note). Strategi agar kita tidak lupa, jika pagi hingga sore kita mengamati,
maka malam hari kita membuat catatan lapangan. Kita terus menurus melakukan hal
tersebut hingga data jenuh. Terkadang data yang diamati 2 bulan sudah jenuh.
Ada juga data yang diamati 2 tahun belum jenuh juga. Jadi jenuhnya data tidak
dapat dipastikan seberapa lamanya, karena tergantung dengan berbagai faktor.
Catatan
lapangan yang telah kita buat kemudian direduksi. Dalam proses mereduksi
terdapat berbagai cara, kita dapat mereduksi dengan cara Bogdan and Bliken, Creswell,
Milles and Huberman atau pun cara lainnya. Meskipun caranya berbeda-beda dengan
berbagai penulis, namun intinya adalah dari catatan lapangan yang telah kita
buat kemudian data direduksi dan dianalisis serta diverifikasi atau disimpulkan.
Dari penyimpulan tersebut kita memperoleh pemetaan.
Baik
riset kuantitatif dan kualitatif,
yang berat adalah melaporkan. Karena kita sudah tahu, jadi tidak ada tantangan
lagi. Misal kita akan meneliti mana yang lebih baik antara saintifik dan PBL.
Dari data-data yang dikumpulkan misal saintifik lebih baik dari PBL. Maka kita
akan merasa sudah tahu dan tidak mau menuliskannya. Itu lah tantangan yang sering
membuat kita lama dalam penelitian, kecuali jika kita telah menargetkan untuk
cepat menyelesaikan laporan. Dalam penelitian memang membuat laporan adalah
tantangan terberat karena sudah diperolehnya data, terkadang kita malas merekap
data, dll. Oleh karena itu strategi yang dapat kita lakukan adalah mambuat
taget, sehingga kita tidak santai-santai dalam menulis laporan.
Demikian pembahasan terkait serba-serbi riset kuantitatif dan kualitatif. Semoga bermanfaat bagi kita semua. :)
0 komentar:
Posting Komentar