Laman

Sabtu, 24 Oktober 2015

Cogito Ergo Sum, aku ada karena aku berpikir



Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-6 (bagian 2)
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
PPs UNY Pendidikan Matematika kelas A
Selasa, 20 Oktober 2015 Pukul 11.10-12.50 WIB
di lantai tertinggi Gedung Lama PPs UNY ruang R.305b


Setelah mengikuti tes singkat ketiga “menembus ruang dan waktu”, dengan beragam hasil yang kami dapatkan. Selanjutnya Bapak Prof. Marsigit menjawab pertanyaan dari beberapa mahasiswa. Berikut ini saya nukilkan beberapa pertanyaan beserta jawaban yang dijelaskan oleh Bapak Prof. Marsigit.

Pertanyaan dari Sdri. Retno Kusuma Demi: Dalam dimensi ruang dan waktu yang mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu material, formal, normatif, spiritual, bagaimana penjelasan dari tes singkat filsafatnya batu terkait dengan tingkatan-tingkatan tersebut?

Jawaban Bapak Prof.Marsigit:
Struktur yang saya sebut hanyalah salah satu struktur dari bermilyar-milyar struktur pangkat semilyar yang ada dan mungkin ada. Struktur itu di samping banyak, beragam jenisnya, dan juga berstruktur. Misalnya siang dan malam itu strutur dunia. Bagaimana orang mengalami siang dan malam, entah paham atau tidak. Ketika tumbuhan dan binatang mengalami siang dan malam pula, entah sadar atau tidak sadar. Contoh lain dari struktur: atas dan bawah, kiri dan kanan, jauh dan dekat, dsb. Sesungguhnya berfilsafat itu intensif (dalam sedalam-dalamnya) dan ekstensif (luas dan seluas-luasnya). Jika kita mengindentifikasi semua struktur maka tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu maka kita hanya memilih struktur yang istimewa, strategis dan potensial. Semua yang ada dan mungkin ada dapat kita jadikan senjata, seperti batu, lampu, oksigen, dsb. Namun kemudian manusia membuat senjata yang efisien dan efektif mulai dari pisau, rifle, hingga senjata api. Maka dalam mempelajari filsafat pun ada struktur yang bermanfaat, ada struktur yang efisien dan efektif yang dapat kita gunakan, yaitu menyangkut material, formal, normatif, dan spiritual untuk menyadarkan diri kita. Sebenar-benar hidup adalah hidup baik dan sukses. Sesungguhnya sifat dari hidup baik dan sukses mempunyai bermilyar-milyar indkator kriteria dari baik dan sukses. Maka kita reduksi sifat dari baik dan sukses pada umumnya dewasa ini. Orang sukses dewasa ini, misalnya mahasiswa mempunyai ­laptop, handphone, lulus ujian, dsb. Maka kalau kita ingin sukses, hendaklah menerapkan kriteri filsafat yaitu sopan dan santun terhadap ruang dan waktu. Sesungguhnya sopan santun terhadap ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang tetap tetapi dinamik, dalam bahasanya orang awam disebut menembus ruang dan waktu.
Terkait menembus ruang dan waktu, jangankan manusia, binatang, atau pun tumbuhan. Batu saja yang hanya diam dapat menembus ruang dan waktu. Karena secara diam, batu telah mengikuti hari-hari dalam calendar, entah batu sadar atau tidak sadar, namun sesungguhnya subjeknya lah yang mampu menyadari hal tersebut. Jadi yang jadi masalah adalah bagaimana dalam hidup ini mempunyai keterampilan menembus ruang dan waktu. Tes singkat “menembus ruang dan waktu” tadi menjadi contoh untuk memebus ruang dan waktu. Dalam upaya menembus ruang dan waktu maka memerlukan perbendaharaan kata karena sebenar-benar dunia itu adalah bahasa. Maka dalam filsafat bahasa (analitik) menerangkan bahwa duniaku itu adalah kata-kataku. Maka sesungguhnya sebenar-benar kata-katamu menunjukkan duniamu. Maka berhati-hatilah dalam berkata. Karena dunia ke atas menjadi spiritual, maka kata-katamu itu adalah doa (dilihat dari sisi spiritulitasnya). Maka berhati-hati pula ketika marah, karena seorang pemarah adalah determinis. Determinis itu menembus ruang dan waktu yang salah. Maka perjuangan hidup yang benar adalah menembus ruang dan waktu yang bijaksana. Dalam upaya menembus ruang dan waktu yang bijaksana, seseorang yang satu dengan yang lain berbeda-beda. Misalnya pria dan wanita, tentunya mempunyai kodratnya masing-masing yang berbeda. Sesungguhnya tes/ujian singkat “menembus ruang dan waktu” ditujukan untuk memperoleh keterampilan menembus ruang dan waktu.
Sesungguhnya tidak hanya batu saja, kita dapat mengekstensikan kepada hal lain, misalnya bilangan. Apa ontology bilangan? Spiritualnya bilangan? Dsb. Secara ontologis terdapat perbedaan karakter antara batu dan bilangan. Batu duduknya di luar pikiran, sedangkan bilangan duduknya di dalam pikiran. Sesungguhnya kita dapat berfilsafat dan membangun dunia berangkat dari batu, bilangan, manusia, konsep spiritual dsb. Maka dalam filsafat kita dapat membangun dunia dari yang ada dan mungkin ada. Lalu agar kita dapat membangun dunia maka diperlukan keterampilan menembus ruang dan waktu. Kemudian agar dapat menembus ruang dan waktu dengan benar dan baik sesuai tujuan maka diperlukan perbendaharaan kata. Misalnya percaya, jika batu ada dalam di luar pikiran, bilangan ada di dalam mikiran, maka sesungguhnya kepercayaan ada di dalam hubungan antara subjek dan objek atau antara wadah dan isi. Seperti halnya batu maka kita dapat mencari spiritualnya kepercayaan, matematika kepercayaan, materialnya kepercayaan, normatifnya kepercayaan, skeptisnya kepercayaan, dsb. Sesungguhnya metode ilmiahnya kepercayaan adalah validitas. Kepercayaan dari karya ilmiah adalah validator.
Sesungguhnya belajar filsafat dari elegi-elegi tidak seperti mengambil batu kerikil di halaman yang nampak lalu diambil. Berkali-kali membaca elegi maka belum tentu paham juga, maka diperlukan kesabaran, ketelatenan, dan keikhlasan dalam membaca elegi. Fungsi dari tes tidak semata-mata menguji, namun mengadakan yang ada dan mungkin ada, menyadari bahwa aku belum mengerti, karena orang yang sombong adalah orang yang merasa mengerti padahal belum mengerti.

Pertanyaan dari Sdri. Evvy Lusiana: Bagaimana filsafat memandang suatu kepercayaan? Misalnya tidak percaya kepada teman.

Jawaban Bapak Prof Marsigit:
Percaya itu ada di dalam hubungan antara anda sebagai subjek dan di luar anda sebagai objek. Jikalau subjeknya adalah dirimu, maka selain dirimu adalah objek atau sifat-sifatnya. Percaya di dalam hati naik ke pikiran, benar di dalam pikiran turun ke hati. Maka dalam berfilsafat adalah mencari kepastian dan kebenaran. Tetapi setelah engkau mencari kepastian, itu pertanda engkau telah tertangkap oleh ruang dan waktu yang salah atau mitos. Kepastian itu lah sebagai mitos, kecuali kepastian itu adalah keyakinanmu di dalam spiritualitasmu, maka itu bukan mitos, namun keyakinan. Sesungguhnya mitos aadalah tersebatas yang dapat engkau pikirkan dalam urusan dunia. Itulah sebabnya di dalam filsafat memang membongkar kepastian-kepastian tersebut. Di dalam interaksi hati dan pikiran menghasilkan interaksi, fenomena, dan aktivitas. Tidak percaya mempunyai alirannya. Kalau engkau bangun ketidak percayaan itu maka jadilah dunia ketidakpercayaan. Jadilah Dunia ketidakpercayaan. Dunia ketidakpercayaan dalam filsafat disebut scepcisism, tokohnya adalah Rene Descartes. Karena Rene Descartes mempunyai pengalaman, dia bermimpi dengan mimpinya benar-benar khusuk, efektif, dan intensif, sehingga dia tidak dapat membedakan lagi antara mimpi dan bukan mimpi. Dia bermimpi ketika musim dingin, dunia yang penuh salju, homogen, tidak ada serba-serbi kehidupan, hanya ada hamparan salju. Dia bahkan meragukan keyakinannya, dia meragukan Tuhan. Sehingga dia mencari kepastian apakah ini mimpi atau bukan mimpi?. Ternyata satu-satunya kepastian yang tidak dapat dibantah dari Rene Descartes adalah “aku sedang bertanya”. Itu berarti dia tidak sedang mimpi, karena sedang memikirkinnya. Rene Descartes mengatakan “Cogito ergo sumyang mempunyai arti aku ada karena aku berpikir”. Dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, ketika kita tidak mau berkomentar, maka akan dianggap tidak ada. Begitu juga jika dikaitkan dengan urusan berbangsa dan bernegara, ketika perwakilan Indonesia tidak mau berbicara di forum internasional, maka Indonesia dianggap tidak ada. Hal tersebut jangan dianggap sepele, ketika kita dianggap tidak ada oleh orang tua saja sudah sedih bukan main. Padahal kita sering mengabaikan sifat-sifat orang lain, mengeliminasi sifat-sifat murid yang bermilyar-milyar kita anggap tidak ada. Itulah yang sudah dipikirkan Rene Descartes aku ada karena kau berpikir (Cogito ergo sum). Kalau diektensikan maka akan menjadi “aku ada karna aku berkarya”, dsb. Oleh karena itu ada konsep ADA, PENGADA, dan MENGADA. Kembali ke pertanyaan terkait kepercayaan, maka God Father anda kalau dikembangkan menjadi Rene Descartes, alirannya sceptisism, tidak percaya pada semuanya dalam rangka untuk menemukan Tuhan. Namun pada akhirnya akan menemukan Tuhan dengan cara tidak percaya pada semuanya. Sesungguhnya filsafat tidak ada pada Rene Descartes, bukan pula di Yunani, namun filsafat itu di diriku sendiri.

Demikian refleksi dari pertemuan keenam. Sesungguhnya semua pembelajaran ini dalam rangka menyadarkan kepada diri kita bahwa kita dapat membangun dunia dari yang ada dan mungkin ada dari kacamata filsafat. Ketika kita mulai ragu-ragu dan bingung maka hendaklah kita perbanyak istighfar diiringi dengan doa secara kontinu dengan menerapkan adab doa.

Semoga bermanfaat :)

0 komentar:

Posting Komentar