Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-6
(bagian 2)
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
PPs UNY Pendidikan Matematika kelas A
Selasa, 20 Oktober 2015 Pukul 11.10-12.50 WIB
di lantai tertinggi Gedung Lama PPs
UNY ruang R.305b
Setelah mengikuti tes singkat
ketiga “menembus ruang dan waktu”, dengan beragam hasil yang kami dapatkan. Selanjutnya
Bapak Prof. Marsigit menjawab pertanyaan dari beberapa mahasiswa. Berikut ini
saya nukilkan beberapa pertanyaan beserta jawaban yang dijelaskan oleh Bapak
Prof. Marsigit.
Pertanyaan dari Sdri. Retno Kusuma
Demi: Dalam dimensi ruang dan waktu yang mempunyai tingkatan-tingkatan yaitu
material, formal, normatif, spiritual, bagaimana penjelasan dari tes singkat
filsafatnya batu terkait dengan tingkatan-tingkatan tersebut?
Jawaban Bapak Prof.Marsigit:
Struktur yang saya sebut hanyalah
salah satu struktur dari bermilyar-milyar struktur pangkat semilyar yang ada
dan mungkin ada. Struktur itu di samping banyak, beragam jenisnya, dan juga
berstruktur. Misalnya siang dan malam itu strutur dunia. Bagaimana orang
mengalami siang dan malam, entah paham atau tidak. Ketika tumbuhan dan binatang
mengalami siang dan malam pula, entah sadar atau tidak sadar. Contoh lain dari
struktur: atas dan bawah, kiri dan kanan, jauh dan dekat, dsb. Sesungguhnya
berfilsafat itu intensif (dalam sedalam-dalamnya) dan ekstensif (luas dan
seluas-luasnya). Jika kita mengindentifikasi semua struktur maka tidak akan
pernah selesai. Oleh karena itu maka kita hanya memilih struktur yang
istimewa, strategis dan potensial. Semua yang ada dan mungkin ada dapat kita
jadikan senjata, seperti batu, lampu, oksigen, dsb. Namun kemudian manusia
membuat senjata yang efisien dan efektif mulai dari pisau, rifle, hingga senjata api. Maka dalam mempelajari filsafat pun ada struktur yang bermanfaat, ada struktur yang efisien dan
efektif yang dapat kita gunakan, yaitu menyangkut material, formal, normatif,
dan spiritual untuk menyadarkan diri kita. Sebenar-benar hidup adalah hidup
baik dan sukses. Sesungguhnya sifat dari hidup baik dan sukses mempunyai
bermilyar-milyar indkator kriteria dari baik dan sukses. Maka kita reduksi
sifat dari baik dan sukses pada umumnya dewasa ini. Orang sukses dewasa ini,
misalnya mahasiswa mempunyai laptop,
handphone, lulus ujian, dsb. Maka kalau kita ingin sukses, hendaklah
menerapkan kriteri filsafat yaitu sopan dan santun terhadap ruang dan waktu.
Sesungguhnya sopan santun terhadap ruang dan waktu bukanlah sesuatu yang tetap
tetapi dinamik, dalam bahasanya orang awam disebut menembus ruang dan waktu.
Terkait menembus ruang dan waktu,
jangankan manusia, binatang, atau pun tumbuhan. Batu saja yang hanya diam dapat
menembus ruang dan waktu. Karena secara diam, batu telah mengikuti hari-hari
dalam calendar, entah batu sadar atau
tidak sadar, namun sesungguhnya subjeknya lah yang mampu menyadari hal
tersebut. Jadi yang jadi masalah adalah bagaimana dalam hidup ini mempunyai
keterampilan menembus ruang dan waktu. Tes singkat “menembus ruang dan waktu” tadi
menjadi contoh untuk memebus ruang dan waktu. Dalam upaya menembus ruang dan
waktu maka memerlukan perbendaharaan kata karena sebenar-benar dunia itu adalah
bahasa. Maka dalam filsafat bahasa (analitik) menerangkan bahwa duniaku itu
adalah kata-kataku. Maka sesungguhnya sebenar-benar kata-katamu menunjukkan
duniamu. Maka berhati-hatilah dalam berkata. Karena dunia ke atas menjadi
spiritual, maka kata-katamu itu adalah doa (dilihat dari sisi spiritulitasnya).
Maka berhati-hati pula ketika marah, karena seorang pemarah adalah determinis.
Determinis itu menembus ruang dan waktu yang salah. Maka perjuangan hidup yang
benar adalah menembus ruang dan waktu yang bijaksana. Dalam upaya menembus
ruang dan waktu yang bijaksana, seseorang yang satu dengan yang lain berbeda-beda.
Misalnya pria dan wanita, tentunya mempunyai kodratnya masing-masing yang
berbeda. Sesungguhnya tes/ujian singkat “menembus ruang dan waktu” ditujukan
untuk memperoleh keterampilan menembus ruang dan waktu.
Sesungguhnya tidak hanya batu saja,
kita dapat mengekstensikan kepada hal lain, misalnya bilangan. Apa ontology
bilangan? Spiritualnya bilangan? Dsb. Secara ontologis terdapat perbedaan
karakter antara batu dan bilangan. Batu duduknya di luar pikiran, sedangkan
bilangan duduknya di dalam pikiran. Sesungguhnya kita dapat berfilsafat dan
membangun dunia berangkat dari batu, bilangan, manusia, konsep spiritual dsb.
Maka dalam filsafat kita dapat membangun dunia dari yang ada dan mungkin ada.
Lalu agar kita dapat membangun dunia maka diperlukan keterampilan menembus
ruang dan waktu. Kemudian agar dapat menembus ruang dan waktu dengan benar dan
baik sesuai tujuan maka diperlukan perbendaharaan kata. Misalnya percaya, jika
batu ada dalam di luar pikiran, bilangan ada di dalam mikiran, maka sesungguhnya
kepercayaan ada di dalam hubungan antara subjek dan objek atau antara wadah dan
isi. Seperti halnya batu maka kita dapat mencari spiritualnya kepercayaan,
matematika kepercayaan, materialnya kepercayaan, normatifnya kepercayaan,
skeptisnya kepercayaan, dsb. Sesungguhnya metode ilmiahnya kepercayaan adalah
validitas. Kepercayaan dari karya ilmiah adalah validator.
Sesungguhnya belajar filsafat dari
elegi-elegi tidak seperti mengambil batu kerikil di halaman yang nampak lalu
diambil. Berkali-kali membaca elegi maka belum tentu paham juga, maka diperlukan
kesabaran, ketelatenan, dan keikhlasan dalam membaca elegi. Fungsi dari tes
tidak semata-mata menguji, namun mengadakan yang ada dan mungkin ada, menyadari
bahwa aku belum mengerti, karena orang yang sombong adalah orang yang merasa
mengerti padahal belum mengerti.
Pertanyaan dari Sdri. Evvy Lusiana: Bagaimana
filsafat memandang suatu kepercayaan? Misalnya tidak percaya kepada teman.
Jawaban Bapak Prof Marsigit:
Percaya itu ada di dalam hubungan antara anda
sebagai subjek dan di luar anda sebagai objek. Jikalau subjeknya adalah dirimu,
maka selain dirimu adalah objek atau sifat-sifatnya. Percaya di dalam hati naik
ke pikiran, benar di dalam pikiran turun ke hati. Maka dalam berfilsafat adalah
mencari kepastian dan kebenaran. Tetapi setelah engkau mencari kepastian, itu
pertanda engkau telah tertangkap oleh ruang dan waktu yang salah atau mitos.
Kepastian itu lah sebagai mitos, kecuali kepastian itu adalah keyakinanmu di
dalam spiritualitasmu, maka itu bukan mitos, namun keyakinan. Sesungguhnya
mitos aadalah tersebatas yang dapat engkau pikirkan dalam urusan dunia. Itulah
sebabnya di dalam filsafat memang membongkar kepastian-kepastian tersebut. Di
dalam interaksi hati dan pikiran menghasilkan interaksi, fenomena, dan
aktivitas. Tidak percaya mempunyai alirannya. Kalau engkau bangun ketidak
percayaan itu maka jadilah dunia ketidakpercayaan. Jadilah Dunia ketidakpercayaan.
Dunia ketidakpercayaan dalam filsafat disebut scepcisism, tokohnya adalah Rene
Descartes. Karena Rene Descartes mempunyai pengalaman, dia bermimpi dengan
mimpinya benar-benar khusuk, efektif, dan intensif, sehingga dia tidak dapat
membedakan lagi antara mimpi dan bukan mimpi. Dia bermimpi ketika musim dingin,
dunia yang penuh salju, homogen, tidak ada serba-serbi kehidupan, hanya ada
hamparan salju. Dia bahkan meragukan keyakinannya, dia meragukan Tuhan.
Sehingga dia mencari kepastian apakah ini mimpi atau bukan mimpi?. Ternyata
satu-satunya kepastian yang tidak dapat dibantah dari Rene Descartes adalah
“aku sedang bertanya”. Itu berarti dia tidak sedang mimpi, karena sedang
memikirkinnya. Rene Descartes mengatakan “Cogito ergo sum” yang mempunyai arti “aku
ada karena aku berpikir”. Dalam kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, ketika
kita tidak mau berkomentar, maka akan dianggap tidak ada. Begitu juga jika
dikaitkan dengan urusan berbangsa dan bernegara, ketika perwakilan Indonesia
tidak mau berbicara di forum internasional, maka Indonesia dianggap tidak ada.
Hal tersebut jangan dianggap sepele, ketika kita dianggap tidak ada oleh orang
tua saja sudah sedih bukan main. Padahal kita sering mengabaikan sifat-sifat
orang lain, mengeliminasi sifat-sifat murid yang bermilyar-milyar kita anggap
tidak ada. Itulah yang sudah dipikirkan Rene Descartes aku ada karena kau
berpikir (Cogito ergo sum). Kalau
diektensikan maka akan menjadi “aku ada karna aku berkarya”, dsb. Oleh karena
itu ada konsep ADA, PENGADA, dan MENGADA. Kembali ke pertanyaan terkait
kepercayaan, maka God Father anda kalau dikembangkan menjadi Rene Descartes,
alirannya sceptisism, tidak percaya pada semuanya dalam rangka untuk menemukan
Tuhan. Namun pada akhirnya akan menemukan Tuhan dengan cara tidak percaya pada
semuanya. Sesungguhnya filsafat tidak ada pada Rene Descartes, bukan pula di
Yunani, namun filsafat itu di diriku sendiri.
Demikian refleksi dari pertemuan keenam. Sesungguhnya
semua pembelajaran ini dalam rangka menyadarkan kepada diri kita bahwa kita
dapat membangun dunia dari yang ada dan mungkin ada dari kacamata filsafat.
Ketika kita mulai ragu-ragu dan bingung maka hendaklah kita perbanyak istighfar
diiringi dengan doa secara kontinu dengan menerapkan adab doa.
Semoga bermanfaat :)
0 komentar:
Posting Komentar