Refleksi Perkuliahan Filsafat Ilmu Pertemuan ke-5
(bagian 2)
Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M.A
PPs UNY Pendidikan Matematika kelas A
Selasa, 13 Oktober 2015 Pukul 11.10-12.50 WIB
di lantai tertinggi Gedung Lama PPs
UNY ruang R.305b
Setelah mengikuti tes singkat
kedua, dengan beragam hasil yang kami dapatkan. Selanjutnya Bapak Prof.
Marsigit menjawab pertanyaan dari beberapa mahasiswa. Berikut ini saya nukilkan
beberapa pertanyaan beserta jawaban yang dijelaskan oleh Bapak Prof. Marsigit.
Pertanyaan dari Azmi
Yanianti: Apakah jodoh bersifat relatif?
Jawaban Bapak Prof Marsigit:
Kita memposisikan
dahulu bahwa kita sedang berfilsafat.
Jika dilihat dari tataran dimensinya material-formal-normatif-spiritual. Dimensi paling rendah adalah material dan paling tinggi adalah spiritual.
Maka masalah jodoh harus kita jelaskan apakah itu perkawinan, percintaan, atau pernikahan.
Jika dilihat dari tataran dimensinya material-formal-normatif-spiritual. Dimensi paling rendah adalah material dan paling tinggi adalah spiritual.
Maka masalah jodoh harus kita jelaskan apakah itu perkawinan, percintaan, atau pernikahan.
Sehebat-hebat pikiranku tidak lah
aku mampu menjelaskan semua perasaanku. Itu pertanda bahwa pikiran kita tak
mampu menjangkau spiritualisme secara total, jadi hanya mampu menjangkau sebagian
kecil saja.
Sehebat-hebat kalimat atau perkataanku, tak akan mungkin mampu
mengucapkan semua pikiranku. Sehebat-hebat tulisanku, tidak mungkin mampu
menulis semua yang aku ucapkan.
Sehebat-hebat tindakan dan langkahku, selincah
atau segesit apapun bak pendekar, tidak lah mungkin mampu melaksanakan semua
tulisanku, kata-kataku, atau pun pikiranku.
Pernikahan itu struktur lengkap,
yang terdiri atas material, formal, normatif, dan spiritual.
Jadi ada bagian dari pernikahan dimana kita tak mampu memikirkannya. Ada unsur lain yang kita tak mampu memikirkannya, yaitu dalam ranah spiritual. Maka tetapkanlah dengan doa.
Jadi ada bagian dari pernikahan dimana kita tak mampu memikirkannya. Ada unsur lain yang kita tak mampu memikirkannya, yaitu dalam ranah spiritual. Maka tetapkanlah dengan doa.
Jika kita dalam masalah keluarga atau pernikahan hanya kita pikirkan
saja, maka akan timbul variasi.
Karena spiritual dari langit turun ke bumi, sedangkan filsafat hanya ada di bumi, menggapai langit pun tidak akan pernah sampai.
Maka barangsiapa menghadapi urusan langit dan bumi namun hanya berangkat dari bumi saja, maka pasti akan banyak kesalahannya.
Karena spiritual dari langit turun ke bumi, sedangkan filsafat hanya ada di bumi, menggapai langit pun tidak akan pernah sampai.
Maka barangsiapa menghadapi urusan langit dan bumi namun hanya berangkat dari bumi saja, maka pasti akan banyak kesalahannya.
Misalnya menterjemahkan jodoh
sebagai cinta. Mendahulukan cinta dan hidup bersama tanpa adanya ikatan pernikahan.
Hal tersebut terjadi karena memandang pernikahan dari sisi dunia atau pikiran saja, namun tidak dituntun oleh spiritualitas.
Hal tersebut terjadi karena memandang pernikahan dari sisi dunia atau pikiran saja, namun tidak dituntun oleh spiritualitas.
Sesungguhnya manusia lahir
mempunyai potensi untuk menikah, jika tidak menikah maka itu urusan lain, namun
sebenarnya mempunyai potensi.
Tumbuh-tumbuhan punya potensi, jika naik ke tingkatan binatang maka punya naluri/insting, jika dinaikan lagi kompleksitasnya menjadi manusia maka intuisi.
Intuisi tersebut menjadi pengalaman.
Bahasa itu sesusai dengan levelnya, maka tidak bisa kita mengatakan “kedelai mempunyai intuisi”. Karena itu tidak cocok.
Tumbuh-tumbuhan punya potensi, jika naik ke tingkatan binatang maka punya naluri/insting, jika dinaikan lagi kompleksitasnya menjadi manusia maka intuisi.
Intuisi tersebut menjadi pengalaman.
Bahasa itu sesusai dengan levelnya, maka tidak bisa kita mengatakan “kedelai mempunyai intuisi”. Karena itu tidak cocok.
Kata-kata ku yang menyesuaikan
dengan keadaan, maka itu lah yang disebut menembus ruang dan waktu.
Sehingga dalam filsafat, orang cerdas didefinisikan sebagai orang yang sopan dan santun dalam ruang dan waktu.
Sehingga dalam filsafat, orang cerdas didefinisikan sebagai orang yang sopan dan santun dalam ruang dan waktu.
Tiadalah berfilsafat jikalau tidak berdasarkan pikiran para
filsuf.
Maka jika kita ingin tuntas mengupas tentang jodoh dari sisi filsafat, maka bacalah pikiran para filsuf tentang jodoh.
Maka jika kita ingin tuntas mengupas tentang jodoh dari sisi filsafat, maka bacalah pikiran para filsuf tentang jodoh.
Dari sisi romantism, orang yang
paling romantis adalah orang yang paling berkuasa.
Dari sisi spiritual, dari
agama masing-masing ada tuntunannya mengenai jodoh dan pernikahan.
Saya sedikit menambahkan, bahwa di dalam Islam
dijelaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan.
“Di antara
tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah Dia telah menciptakan dari jenismu (manusia)
berpasang-pasangan agar kamu memperoleh sakinah di sisinya, dan dijadikannya di
antara kamu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya dalam hal demikian itu terdapat
tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi kaum yang berpikir.”
(Ar-Rum 30:21).
(Ar-Rum 30:21).
Pertanyaan dari Aida
Rukmana Hadi: Bagaimana jika tujuan hidup tidak sesuai dengan fakta atau
kenyataan yang terjadi?
Jawaban Bapak Prof Marsigit:
Tujuan itu idealis. Idealis itu sesuatu yang ada dalam pikiran kita.
Lalu bagaimana terpenuhi atau tidak terpenuhi idealis itu?
Misal dari sisi tesis dan antitesis.
Usaha, berfikir, atau hidup tidak lain tidak bukan bersumber dari dua unsur atau lebih yang kita sisntesiskan.
Kalau dinaikkan masuk ke ranah spiritual, maka yang dipikirkan manusia itu semua bersifat relatif, tidak ada yang bersifat absolut.
Absolut itu hanya milik dan kuasa-Nya.
Karena relatif, maka manusia tidak mengerti bahwa kriteria keberhasilan yang dikehedaki itu mempunyai perspektif lain yang tidak ia sadari.
Misal setelah dia gagal di suatu tempat, kemudian dia bersifat tawakal, berdoa, dan energinya masih bertahan, maka dia menemukan keberhasilan dari segmen berbeda, dengan karakter berbeda, namun maknanya berlipat ganda.
Jadi jika apa yang kita inginkan belum terpenuhi maka sesungguhnya sangat relatif. Jika filsafat dinaikkan ke ranah spiritual, maka kesimpulan kita kepada Tuhan adalah kesimpulan yang positif thinking.
Ketika kita negatif thinking kepada Tuhan, maka seperti ini disebut penyakit filsafat, jika dibawa ke ranah spiritual disebut penyakit spiritual.
Dalam istilah jawa “nggege mongso”, yang bermakna tergesa-gesa, mendahului kehendak Allah SWT.
Kita hendaknya jangan tergesa-tega mengambil kesimpulan.
Jangan merasa sudah mengerti, padahal belum mengerti.
Kita dianjurkan membaca elegi-elegi adalah tujuannya agar kita mengerti bahwa kita ini belum mengerti.
Jika kita enggan membaca elegi dan merasa sudah mengerti, maka sungguh ini adalah musuh filsafat.
“Nggege mongso” ini sangat krusial sekali.
Orang yang “nggege mongso” adalah orang bertindak dan berpikir tidak sesuai ruang dan waktu, dia tidak sadar telah melakukan memperkosa keadaan, karena berlaku dzolim (tidak sesuai dengan ruang dan waktu).
Tujuan itu idealis. Idealis itu sesuatu yang ada dalam pikiran kita.
Lalu bagaimana terpenuhi atau tidak terpenuhi idealis itu?
Misal dari sisi tesis dan antitesis.
Usaha, berfikir, atau hidup tidak lain tidak bukan bersumber dari dua unsur atau lebih yang kita sisntesiskan.
Kalau dinaikkan masuk ke ranah spiritual, maka yang dipikirkan manusia itu semua bersifat relatif, tidak ada yang bersifat absolut.
Absolut itu hanya milik dan kuasa-Nya.
Karena relatif, maka manusia tidak mengerti bahwa kriteria keberhasilan yang dikehedaki itu mempunyai perspektif lain yang tidak ia sadari.
Misal setelah dia gagal di suatu tempat, kemudian dia bersifat tawakal, berdoa, dan energinya masih bertahan, maka dia menemukan keberhasilan dari segmen berbeda, dengan karakter berbeda, namun maknanya berlipat ganda.
Jadi jika apa yang kita inginkan belum terpenuhi maka sesungguhnya sangat relatif. Jika filsafat dinaikkan ke ranah spiritual, maka kesimpulan kita kepada Tuhan adalah kesimpulan yang positif thinking.
Ketika kita negatif thinking kepada Tuhan, maka seperti ini disebut penyakit filsafat, jika dibawa ke ranah spiritual disebut penyakit spiritual.
Dalam istilah jawa “nggege mongso”, yang bermakna tergesa-gesa, mendahului kehendak Allah SWT.
Kita hendaknya jangan tergesa-tega mengambil kesimpulan.
Jangan merasa sudah mengerti, padahal belum mengerti.
Kita dianjurkan membaca elegi-elegi adalah tujuannya agar kita mengerti bahwa kita ini belum mengerti.
Jika kita enggan membaca elegi dan merasa sudah mengerti, maka sungguh ini adalah musuh filsafat.
“Nggege mongso” ini sangat krusial sekali.
Orang yang “nggege mongso” adalah orang bertindak dan berpikir tidak sesuai ruang dan waktu, dia tidak sadar telah melakukan memperkosa keadaan, karena berlaku dzolim (tidak sesuai dengan ruang dan waktu).
Pertanyaan dari Evvy
Lusiana: Kenapa matematika murni disebut Koherentism?
Jawaban Bapak Prof Marsigit:
Matematika murni hanya membuat
denifisi, aksioma, dan teorema.
Ketika membuat teorema, maka dari teorema ke-1 sampai ke-1000 tidak boleh ada saling bertentangan, harus identik.
Maka yang dibutuhkan adalah konsisten, bahasa filsafatnya adalah kohern, sedangkan aliran filsafatnya disebut koherentism.
Lawan dari koherentism adalah korespondentism.
Dalam matematika murni menggunakan permisalan, hanya memakai logika yang konsisten tanpa melihat kenyataan yang ada.
Hal tersebut lah yang ditentang Imanuel Kant, menurutnya ilmu harus berdasarkan pikiran dan pengalaman.
Apakah bisa kita hidup hanya dengan pikiran saja atau pengalaman saja?
Jika hidup hanya dengan pikiran saja, maka yang terjadi adalah kekeliruan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sedangkan jika hidup hanya dengan pengalaman saja, maka kita tak bisa menjamin kebenaran, karena sulit untuk memvalidasinya.
Sesungguhnya hidup manusia adalah interaksi antara pikiran dan pengalaman.
Oleh karena itu, dalam matematika murni hanya berdasarkan pikiran saja, maka disebut koherentism.
Ketika membuat teorema, maka dari teorema ke-1 sampai ke-1000 tidak boleh ada saling bertentangan, harus identik.
Maka yang dibutuhkan adalah konsisten, bahasa filsafatnya adalah kohern, sedangkan aliran filsafatnya disebut koherentism.
Lawan dari koherentism adalah korespondentism.
Dalam matematika murni menggunakan permisalan, hanya memakai logika yang konsisten tanpa melihat kenyataan yang ada.
Hal tersebut lah yang ditentang Imanuel Kant, menurutnya ilmu harus berdasarkan pikiran dan pengalaman.
Apakah bisa kita hidup hanya dengan pikiran saja atau pengalaman saja?
Jika hidup hanya dengan pikiran saja, maka yang terjadi adalah kekeliruan karena tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
Sedangkan jika hidup hanya dengan pengalaman saja, maka kita tak bisa menjamin kebenaran, karena sulit untuk memvalidasinya.
Sesungguhnya hidup manusia adalah interaksi antara pikiran dan pengalaman.
Oleh karena itu, dalam matematika murni hanya berdasarkan pikiran saja, maka disebut koherentism.
Pertanyaan dari Heru
Tri Novi Rizki: Bagaimana para Filsuf menjawab ketidakpastian dalam hidupnya?
Jawaban Bapak Prof Marsigit:
Persoalan filsafat hanya ada dua macam.
Persoalan filsafat hanya ada dua macam.
Pertama, jika yang engkau pikirkan berada di dalam pikiranmu,
maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana engkau dapat menjelaskan kepada
orang lain.
Kedua, jika yang engkau pikirkan berada di luar pikiranmu, maka
yang menjadi persoalan adalah bagaimana engkau dapat memahaminya.
Sesungguhnya
sebenar-benar yang terjadi adalah langkah, penglihatan, dan ucapanku ini sedang
dalam proses membangun hidup dengan bermilyar-milyar sifat, termasuk cinta.
Jadi yang hendak kita bangun adalah semua yang ada dan mungkin ada, membangun
cinta, kepercayaan, hubungan, dst.
Dari
pertanyaan-pertanyaan beserta jawaban tersebut, memberikan lebih pemahaman bagi
saya. Adapun disela pemaparan jawaban Bapak Prof Marsigit, saya mengingat ada salah
satu prinsip hidup yang ditularkan Bapak Prof Marsigit. Prinsip kita dalam bermasyarakat dan bertetangga, tentunya ini sangat bermanfaat bagi saya, yaitu
jika kita ingin
damai dunia akhirat, maka pantang bermusuhan dengan tetangga. Bagaimana pun
caranya jangan sampai kita berseteru dengan tetangga. Itulah kunci keberhasilan
bermasyarakat dan kebahagiaan akhirat. Karena tetangga tak lain dan tak bukan
mempunyai fungsi sama dengan saudara.
Semoga kita selalu
dapat mengambil hikmah dari setiap pembelajaran. Aamiin.
Semoga bermanfaat :)
0 komentar:
Posting Komentar